Senin, 30 September 2013

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 4

Beberapa hari kemudian, kulihat sebuah Mercy warna silver metalik mendekatiku. Rasanya aku kenal. Waduh ini kan mobilnya Nana. Nana turun disertai papanya.

"Ini loh pa yang namanya Ali."
"Oh, nak Ali. Terima kasih ya yang waktu itu, Nak."

Ah, jangan dipikirkan, Pak. Sudah kewajiban saya untuk membantu. Iya kan, Na?"
Nana tersenyum

"Berapa liter, Pak?"
"Oh, nggak. Saya mau ngantar Nana. Dia katanya mau keliling Solo sama kamu. Sudah ya, sekali lagi terima kasih nak Ali. Oh iya, ini kartu nama saya. Barangkali nanti ada perlu. Nama saya Hartono. Mari, Nak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam"

Ir. Hartono. Kontraktor. Wow!. Perusahaannya kan yang gede itu. Wah, wah, wah.

"Hei koq bengong?"

Masya Allah. Aku lupa kalo ada Nana.

"Na, kan ada mobil. Kenapa kamu mau jalan-jalan sama aku?"
"Enggak ah. Sama papa gak asik. Ntar sedikit-sedikit ada telpon. Terus ada meeting. Kacau deh. Apalagi papa ke Solo ini juga gara-gara lagi ada proyek. Jadi gak bakalan sempet ngajak aku jalan-jalan."
"Kan ada sopir, Na?"
"Apalagi sama sopir. Ntar aku jalan-jalan diem-dieman. Pak sopir kan nggak bisa diajak ngobrol yang seru-seru. Kalo sama kamu kan lain. Bisa ngobrol banyak. Lagian kan kamu lebih paham soal Solo, ya kan?"

Deghh..Anak orang kaya yang begitu rendah hati..Andai...Ah, sudahlah.

"Tapi aku masih satu jam lagi pulang. Gak apa apa kan?
"He-eh aku tungguin deh."

Nana duduk sambil membuka tasnya. Mengambil majalah Islami bulanan. Aku kembali bekerja.

"Ciee...Pacar baru ya? Udah cantik, kaya lagi. Selamat ya li?" ujar Riska dan Nita tanpa dosa.
""Huss.. Apaan sih? Cuma temen koq."
"Temen koq sampe mau nungguin lama disini, hayo?" Wah calon istri yang setia neeeh." celetuk Aan santai.
"Udah-udah, Tuh ada yang mau ngisi," aku berkelit untuk menghindari omongan mereka yang semakin aneh-aneh lagi.

Satu jam kemudian,

"Na, ayo!"
"Udah?" tanyanya polos.
"He-eh. Maaf ya udah bikin kamu nunggu lama."

"Nggak papa koq li. Udah biasa."

Kustarter motorku.

"Maaf na. Motor butut nih. Enakan juga naik Mercy."
"Ah, lebih enak naek motor ini li. Santai."

Nana mulai duduk di belakangku. Lagi-lagi, dekat. Mau gimana lagi, kan naik motor. Jadi ya kudu dekat. Kalo nggak dekat malah bisa jatuh dari motor. Dan, wuirrr, bulu kudukku berdesir. Aku nggak pernah mbonceng motor cewek cantik kayak gini. Tapi untungnya dia nggak pegangan ke aku. Kalau itu yang terjadi, mungkin aku nggak bisa nyetir. Bisa panas dingin aku.

"Kemana, nih?" ucapku
"Terserah." sahut Nana.
"Lo kok terserah?" aku kaget.
"Kan kamu yang lebih tahu sini ,Li." ujarnya.
"Ya udah. Terserah aku kan? Kalo gitu keliling-keliling ya?" tawarku padanya.
"Boleh juga."

Kuajak dia berkeliling kotaku tercinta. Dari pasar Klewer, kawasan pertokoan, sampai industri batik Surakarta. Dan saat melihat-lihat batik Surakarta, dia begitu tertarik.

"Li, apa sih kelebihan batik Surakarta ini?"
"Apa ya?" Emm. Gini na. Kalo dibandingkan dengan batik dari daerah lain, batik Surakarta ini lebih dominan warna coklat yang mengisi ruang bebasnya. Dan warnanya cenderung gelap, seperti coklat tua sampai kehitaman. Dan simbol-simbolnya juga memiliki khas, Na." ujarku sambil bergaya seperti seorang Guide profesional.
"Oh, gitu ya pak Guide. Hehe. Pantes kamu jadi Guide, li." Nana tertawa.
"Ah, bisa aja kamu, Na. Aku kan anak asli sini. Masak nggak tahu budayanya sendiri."
"Wah, wah, . Bener-bener teladan bagi anak bangsa, nih." puji Nana
"Stop. Jangan muji lagi na. Ntar aku bisa ditilang polisi, Na."
"Loh koq bisa, Li?" Nana bingung.
"Lah iya. Kalo kamu puji, kepalaku tambah gede. Lah ntar helm ku gak cukup. Gak bisa pake helm aku. Kan ditilang sama polisi." candaku.
"Hehe,,ada ada aja kamu, Li. Eh, mana nih yang bagus? bingung nih bagus semua." ujarnya.
"Mmm.. menurutku yang ini lebih cocok buat kamu, Na."

Aku pilih kain batik yang bercorak daun berwarna coklat kehitaman.

"Kulitmu kan udah putih, Na. jadi pake yang gelap kayak gini. Kalo pake ini pasti kelihatan cantik deh. Tapi sebenernya pake apa emang udah dari sononya cantik sih, Na." ujarku mengalir tanpa dipikir.
"Ah jangan muji gitu dong. Aku kan nggak kayak yang kamu bilang. Ya udah deh, kalo kamu yang pilih, aku percaya, Li." ucapnya malu.

Kamipun pergi ke kasir. Dua batik berwarna coklat muda dan coklat tua dipilih Nana.
Matahari sudah mulai malu-malu bersembunyi di kegelapan malam. Rona jingga merekah dalam kesyahduan senja. Sayup terdengar suara takbir mengalun. Mengajak manusia kembali ke jalan-Nya..
-Bersambung-