Selasa, 30 Juli 2013

Balada Lailatul Qodar


Lailatul Qodar
Malam yang ditunggu umat Islam sedunia..
Lebih baik dari 1000 bulan, jika dihitung kurang lebih 83 tahun..
Umur kita saja belum tentu sampai 83 tahun..
Jika bisa mendapat lailatul Qodar, betapa bahagianya..

10 malam terakhir, utamanya malam ganjil, selalu dicari di sepertiga malam terakhir..
Di masjid-masjid berbondong-bondong..
I'tikaf, sholat tahajud, sholat tasbih, sholat hajat, dzikir dan solawat.
Menjemput datangnya Lailatul Qodar..
Syahdu...tenang..

Entah dapat atau tidak, kita telah berusaha..
Tidak dapat Lailatul Qodar pun kita sudah mendekatkan diri pada-Nya..
Karena sebenarnya, Lailatul Qodar bisa dibilang sebuah pancingan..
Supaya kita lebih bersemangat beribadah di malam-malam terakhir..
Karena godaan syetan lebih gencar di malam terakhir Ramadhan..

Ya Allah...
Ampuni hamba..
Mengapa Ramadhan kali ini aku tak seperti dulu..
Lantunan Al qur'an dari mulutku tak sederas dulu..
Tadarus tak serajin kemarin..
Lailatul Qodar pun tlah kulewatkan satu malam..

Ya Allah..
Ampuni hamba..
tetap berikanlah hamba kekuatan iman..
Dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan seperti apapun..
Semoga ini ujian-Mu..
Agar hamba lebih baik lagi di Ramadhan tahun depan..
Dan di penghujung ini, kuatkanlah niatku untuk mengejar..
Lailatul Qodar-Mu..

Minggu, 28 Juli 2013

Apa yang Salah dengan FPI?


Front Pembela Islam. Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata itu? Islam? Damai? atau Jihad? Seharusnya kata-kata itulah yang muncul di pikiran kita saat kita mendengar nama Front Pembela Islam. Tapi kenyataan berkata lain. Yang terbersit justru kekerasan, anarkisme, main hakim sendiri dan jauh dari citra Islam itu sendiri. Sebenarnya apa yang salah dengan FPI?
Masih hangat terjadi, FPI (lagi-lagi) menimbulkan hiruk pikuk di Kabupaten Kendal. Kali ini ada korban nyawa seorang ibu yang tertabrak mobil konvoi FPI disana. Apa yang terjadi disana? Bagi yang selalu update berita televisi maupun media lainnya, mungkin sudah mengetahui kronologi kejadian yang ada di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal ini. Tapi mungkin banyak dari anda yang jarang melihat televisi atau menyimak berita karena kesibukan atau lebih aktif di sosial media saja. Di sini saya ingin menjelaskan sedikit kronologinya, baik dari versi FPI maupun versi masyarakat.
Menurut versi FPI, saat itu FPI sedang mengadakan konvoi simpatik di Kendal, dengan menggunakan beberapa mobil. Namun di tengah jalan ternyata dihadang oleh oknum masyarakat yang mereka sebut "preman" dalam jumlah banyak. Karena terjadi kepanikan, mobil pun melaju dengan kencang. Naas, karena panik, mobil konvoi terakhir menabrak seorang ibu yang dibonceng suaminya menggunakan sepeda motor. Mobil FPI menyeret ibu itu hingga beberapa meter hingga tewas. Polisi mengamankan para petinggi FPI yang ada disana di sebuah masjid untuk menghindari amuk massa.
Sedangkan dari versi masyarakat, yang diwakili oleh Bapak Benny, wakil ketua DPRD Kendal yang menjadi saksi mata kejadian itu, jauh berbeda dengan versi FPI. Menurutnya, konvoi FPI bukan konvoi simpatik. Namun konvoi anarkis. Iring2an mobil FPI berhenti sebelum di POM bensin untuk merusak sebuah warung bakso yang kebetulan masih buka di siang hari di bulan Ramadhan. Setelah itu, rombongan FPI membeli bensin di POM tanpa membayar dan memukuli petugas POM. Hal inilah yang memicu kemarahan warga. Akhirnya massa pun menyerang arak2an FPI yang melintas sehingga terjadi insiden penabrakan oleh mobil iring-iringan FPI.
Entah versi mana yang benar. Yang jelas saat ini FPI semakin menguatkan persepsi masyarakat tentang citra buruknya sendiri. Razia, sweeping dan pengrusakan. Itu yang dilihat langsung oleh masyarakat dan teringat di benak mereka tentang FPI. Saya sungguh miris. Seandainya tidak ada kata "Islam" tertulis pada nama FPI, mungkin saya tidak akan peduli. Misalnya namanya Front Pembela Kebenaran (FPK), dan sebagainya. Tapi berhubung nama agama mayoritas di Indonesia ini dicatut tentunya peribahasa, "Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga" akan terwujud.
Yah, citra Islam Indonesia secara umum akan turut tercoreng. Padahal FPI hanyalah salah satu umat Islam di Indonesia. Namun kehebohannya mengalahkan yang lainnya. Tentunya keprihatinan ini tidak hanya saya rasakan, tapi juga seluruh umat Islam di Indonesia dari berbagai Ormas dan golongan lain.
Lalu bagaimana kita menyikapinya? Kita disini bukan hanya saya dan sebagian umat Islam yang ada di Indonesia, namun KITA adalah seluruh warga negara Indonesia yang berasal dari berbagai suku, agama, ras dan golongan. 
Kita harus bijak memandang sesuatu. Perlu kita telaah lebih dalam saat mendapatkan sebuah informasi, utamanya dari media. Seperti kita tahu, media saat ini tidak lagi menjunjung tinggi asas netralisme. Setiap media membawa panji motivasi masing-masing dalam menampilkan sebuah berita. Walhasil, keobjektifitasan sebuah peristiwa menjadi sulit kita dapatkan. Cara yang tepat adalah tetap ber-Husnudzon (berbaik sangka) kepada apapun yang terjadi dan kepada siapapun. Termasuk dalam melihat konteks FPI ini.
Kita ber-husnudzon, bahwa niat FPI adalah baik, yaitu Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Menegakkan  kebaikan, mencegah kemungkaran. Razia, sweeping dan pengrusakan FPI sebenarnya juga untuk menegakkan itu. Mereka mungkin sudah geram dengan penegak hukum maupun aparat pemerintahan yang sama sekali tidak menunjukkan ketegasannya. Namun, caranya yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia yang notabene adalah negara hukum. Seperti Robin Hood, niatnya mulia untuk menolong warga miskin, namun caranya dengan mencuri.


Husnudzon selanjutnya adalah bahwa ternyata FPI juga tidak hanya melakukan kegiatan yang cenderung anarkis saja. Banyak kegiatan FPI yang baik, misalnya bakti sosial, menjadi relawan terdepan saat bencana, memberikan bantuan materi kepada yang membutuhkan dan sebagainya. Kebaikan tersebut tidak terekspos media. Entah karena tidak menarik atau memang sebuah strategi media untuk mengangkat isu keburukan FPI ke permukaan.
Apapun yang dilakukan FPI, mereka tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa kita sebut benar. Pemerintah harus lebih tegas menegakkan regulasi tentang ormas agar FPI tidak semakin merajalela. Aparat juga harusnya merasa "iri" denga FPI yang seoalah-olah mengambil tugas mereka. Dan iri tersebut dilampiaskan dengan melaksanakan tugasnya dengan lebih konsisten. Jika kedua hal itu telah terwujud, maka Amar Ma'ruf Nahi Munkar seperti yang diinginkan FPI bisa terwujud.
Sinergi semua pihak dibutuhkan untuk mewujudkannya, bukan hanya dilakukan oleh satu pihak FPI saja. Perlu diingat untuk FPI, bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin. Rahmat bagi seluruh alam. 

Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi munkar, maka harusnya Menegakkan Kebaikan (Amar Ma'ruf) dengan kebaikan pula, Mencegah kemungkatan (nahi munkar) jangan dengan kemungkaran pula.

Jumat, 26 Juli 2013

Bukan Yang Sempurna, Tapi Yang Menyempurnakan


Ada sebuah kisah tentang guru dan muridnya, seorang murid bertanya kepada gurunya tentang cinta dan pernikahan. Sang guru tidak menjawab, melainkan memberikan perintah. 
"Berjalanlah kau di semak-semak ini. Ambillah satu ranting yang kau anggap paling bagus. Tapi ingat, hanya satu dan kau jangan mundur ke belakang. Teruslah berjalan ke depan."

Si murid mematuhinya. Beberapa saat kemudian, sang murid kembali ke hadapan gurunya, tapi dengan tangan hampa. Sang guru bertanya, "Mana ranting yang kau dapat?"

Si murid menceritakan,"Aku berjalan di semak-semak tadi, kutemukan ranting yang kuanggap terbaik, lalu kubawa, kemudian ada ranting lagi yang kurasa lebih bagus, kubuang ranting yang kupegang. Setelah itu aku mendapat ranting lagi yang baru, kuambillah ranting itu. Tapi dalam perjalanan aku merasa ranting sebelum-sebelumnya lebih bagus dari yang kupegang sekarang. Maka ku membuang ranting itu dan berharap ada ranting yang lebih bagus lagi. Setelah lama berjalan, ternyata aku sudah sampai di ujung semak belukar itu tanpa mendapatkan apa-apa."

Sang guru tersenyum dan menjawab, "Itulah CINTA."

Kemudian sang guru memerintahkan,"Sekarang masuklah ke hutan belantara itu, tebang satu pohon terbaik yang ada disana, bawalah pulang. Jangan menengok ke belakang dan berjalan mundur."


Si murid pun mematuhinya. Beberapa saat kemudian si murid datang membawa sebatang pohon yang biasa saja. Tidak kelihatan seperti pohon terbaik, tertinggi atau yang terbesar di hutan itu.

Sang guru bertanya,"Mengapa kau membawa pohon biasa saja seperti ini? Bukankah kusuruh mencari pohon terbaik?"

Si murid menjawab,"Aku belajar dari perintahmu yang pertama tadi. Aku sudah berjalan dan terlalu banyak mencari dan berharap ranting terbaik. Tapi aku hanya pulang dengan tangan hampa. Saat aku memasuki hutan itu, langsung saja kucari yang menurutku pohon itu bagus, tanpa memikirkan apakah di depan masih ada pohon lebih baik lagi, dan langsung kutebang. Dan saat perjalanan keluar hutan itu, aku tidak mau lagi melihat pohon-pohon lain dan membandingkan dengan pohon yang kubawa."

Sekali lagi sang guru tersenyum dan menepuk pundak si murid, "Itulah PERNIKAHAN."

Seperti murid yang mencari ranting tadi, itulah saat kita mencari pasangan yang sempurna. Kita memiliki banyak sekali kriteria dan selalu membandingkan dengan yang lain. Jika yang ada sekarang ada kurang sedikit dan yang lain punya kelebihan, maka akan pindah ke lain hati. Tapi setelah tahu ternyata yang dulu lebih baik daripada yang sekarang, timbul rasa sesal.
 
Dan pada akhirnya, seperti si murid tadi, pasti kita tidak akan pernah menemukan pasangan yang sempurna. Hakikat manusia memang adalah makhluq paling sempurna. Namun ingat, makhluq tetaplah makhluq, bukan Sang Pencipta. Kesempurnaan hanyalah milik-Nya saja.
Lalu bagaimana dengan pohon tadi? Seperti murid itu saat memilih pohon, kita memang harus memilih yang terbaik karena dialah yang akan bersama kita di masa waktu yang lama.Jika sudah saatnya kita untuk menikah dan pasangan kita sudah kita rasa yang terbaik, maka menikahlah.


 Tak usah lagi memikirkan ada "pohon-pohon" lain yang lebih tinggi, lebih besar atau lebih indah. Rasa itu hanya membuat munculnya keraguan-keraguan dalam hati. Saat keraguan muncul, maka keputusan akan berujung tidak baik. Karena pernikahan itu suci dan hanya sekali seumur hidup kita, maka saat kita sudah mantap memilih, maka hanguslah pilihan-pilihan yang lain. Hanya ada satu yang terbaik dan akan selalu yang terbaik. 

Akhirnya, 

BUKAN PASANGAN YANG SEMPURNA YANG HARUS KITA CARI, NAMUN PASANGAN YANG MAMPU MENYEMPURNAKAN KITA LAH YANG AKAN MENEMANI KITA UNTUK MEMBINA KASIH YANG SEMPURNA..

Esensi Nuzulul Qur'an, Mulai Menurunkan Al Qur'an ke kehidupan






Tak terasa sudah 17 hari kita menjalani ibadah puasa Romadhon. Saya sendiri juga tak menghitung sehingga tak tahu sudah sampai sejauh ini. Entah karena saking khusyu'nya menikmati bulan penuh barokah ini, atau entah karena kesibukan yang membuatnya terasa cepat. Atau bahkan karena suasana Romadhon tahun ini yang penuh perbedaan. Ya, berbeda karena ada dua alasan. Yang pertama karena ini adalah puasa pertama di kota orang, tidak di rumah. Sejak lahir saya selalu merasakan bulan Ramadhan di kota kelahiran. Yang kedua karena bulan ini adalah Ramadhan pertama tanpa adanya seorang ayah. Sangat berbeda.


Saat melaksanakan sholat jumat tadi siang, saya baru teringat bahwa hari ini adalah 17 Romadhon karena Khotib menyampaikan topik tentang Nuzulul Qur'an. Itu pula yang membuat saya tergerak untuk sedikit menuliskan tentang Nuzulul Qur'an, tapi bukan dari sisi seorang da'i atau ustadz, karena saya bukan alumni pondok pesantren ataupun universitas islam ternama, tapi dari sisi seorang Muslim biasa yang hidup di era jaman edan. Jadi saya disini tidak ingin berceramah, tapi ingin membuka wawasan saya sendiri tentang bagaimana memaknai esensi Nuzulul Qur'an.

Nuzulul Qur'an dalam Bahasa Indonesia berarti Malam Turunnya Al Qur'an. Menurut yang saya tahu, ini terjadi pada 17 Ramadhan di Gua Hira. Wahyu pertama yang turun adalah Al Alaq 1-5. Ayat tersebut merupakan penuntun bagi Nabi Muhammad SAW yang seorang umi (tidak bisa baca tulis) untuk mendpatkan wahyu. Nah, untuk pelajaran Sejarah Islamnya cukup sampai disini, karena jika diteruskan akan semakin ngelantur karena saya tidak paham secara mendetail

Akhir-akhir ini saya pernah mendengar orang-orang yang mempertanyakan keaslian Al Qur'an. Entah mereka terpikir darimana. Keaslian Al Qur'an jika boleh dibilang memang sudah tidak asli. Karena Al Qur'an sekarang sudah diberi tanda harokat, tanda waqof, tanda titik dan sebagainya yang pada saat turun pertama dulu. Tapi semua itu dilakukan untuk mempermudah bagi kita untuk membacanya. Utamanya kita yang bukan orang Arab. Tapi apakah itu disebut tidak asli yang sesungguhnya? Mungkin juga tidak asli karena Al Qur'an sekarang dicetak dengan mesin canggih, bukan tulis tangan di kulit unta seperti dulu. Tapi apa mungkin di jaman sekarang kita membuat Al Qur'an seasli dulu itu? Yang jelas itu menurut saya aneh. Kenapa aneh? Karena mereka yang mempertanyakan tersebut hidup di jaman sekarang, yang tidak hidup di jaman Nabi Muhammad SAW atau para shahabat. Lalu darimana dia tahu asli atau tidak, sedang dia sendiri tahu tentang Al Qur'an juga dari orang yang mungkin disebut gurunya, yang juga nasabnya jauh di bawah Rasulullah SAW? Sebenarnya penafikan Al Qur'an tidak terjadi sekarang, yang mungkin notabene karena kita sudah jauh dari jaman Nabi dan Shahabat. Lha wong di jaman Nabi dulu, yang jelas2 Nabi sendiri yang mendapat wahyu dan sudah jelas langsung turun dari Allah, itu saja masih banyak yang tidak mau mengakui keaslian Al Qur'an. Jadi wajar kalo masih ada yang mempertanyakan keasliannya sekarang. Jika ada yang mempertanyakan, jawab saja. " Sudah dari jaman Nabi ada orang kayak kamu." Selesai. 

Sebenarnya esensi apa yang bisa kita maknai dalam jaman sekarang ini? Ya, mungkin Al Qur'an sudah banyak ditinggalkan muslimin di mana saja. Jika boleh berkaca, berapa lama sehari kita membaca Al Qur'an? jika dipresentasikan dengan 24 jam, adakan 1 persennya? Lebih lama mana, Al Qur'an kita pegang dengan handphone kita genggam? Jika kita kemana2 kita lebih bingung saat tidak membawa handphone atau Al Qur'an? Pertanyaan2 menusuk tadi berlaku juga untuk saya.

Dari situ sudah jelas bahwa nilai Al Qur'an sudah berbeda. Bukan menjadi sesuatu yang suci dan sakral untuk dibaca, tapi sesuatu yang bersih dan bagus, dalam konteks karena jawang dibaca dan masih tersimpan dengan baik. Saya sekali lagi memaklumi keadaan ini, karena gempuran dari barat sangatlah kuat, dengan pertahanan kita yang rapuh. Akhirnya jebol juga lah kadar keimanan kita. 

Nuzulul Quran hendaknya tidak hany kita peringati saja, tapi besoknya sudah hilang tak berbekas. Namun memaknainya jauh lebih baik. Kita lebih dekat dan meluangkat waktu untuk membacanya dengan tajwid dan makhraj yang benar, mendalami maknanya dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kalo kita memang kurang ilmu agama atau tentang Al Quran, bisa ikut pengajian atau majlis taklim, baik secara langsung, maupun via televisi dan internet. 
Mungkin, kita memang bukan seorang yang hafidzh atau hafidzhoh, bukan muballigh bukan pula da'i. Ilmu kita memang tidak dalam atau luas tentang agama. Tapi minimal kita amalkan apa yang bisa kita amalkan, yang penting istiqomah.

Dan akhirnya Nuzulul Qur'an "yang sesungguhnya" akan benar2 terjadi dalam diri kita, yaitu turunnya Al Qur'an ke hati dan kehidupan kita.
 
 

Kamis, 25 Juli 2013

Kemakmuran = Kegemukan ???

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dulu semasa kuliah, jika tidak keliru di semester 4, ada mata kuliah Dasar Gizi. Disitu ada kesempatan untuk melakukan presantasi tentang gizi, apa saja di depan kelas. Seperti biasa walaupun tugas kelompok, tetap yang cari ide, yang ngerjakan, yang membuat presentasi, sekaligus yang presentasi ya seorang saja. Saya, one stop service. Tak apalah, lha wong yang dapat ilmu ya saya sendiri, dan manfaatnya saya dapat sendiri. Buktinya gara-gara itu sampai sekarang saya masih ingat betul isi presentasinya.
 
Saya mendapat ide untuk mengangkat tentang "Pernikahan meningkatkan Resiko Obesitas". Menarik sekali menurut saya. Tanpa pikir panjang saya pakai tema ini. Walhasil besoknya saya pun presentasi di depan kelas. Setelah menjelaskan panjang lebar, saya lega dan waktunya sesi tanya jawab. Dan lagi-lagi one stop service berperan lagi. Saya juga lah yang menjawab semua pertanyaan dengan baik, kalau memang bisa dibilang baik. Dan di akhir, pertanyaan muncul dari sang dosen. Saya baru teringat bahwa beliau merupakan pengantin baru. Yang belum lama melangsungkan pernikahan. Dan tema saya disini adalah tentang pernikahan dan obesitas. Waduh, mati aku.

Benar saja. Dosen tersebut menginterogasi saya tentang dasar saya mengangkat ini. Dan apakah ini sudah memiliki penelitian yang kuat. Yah, berhubung beliau jauh lebih expert di bidang gizi, sedangkan saya hanyalah mahasiswa sok tahu yang pinternya juga gara-gara internet, akhirnya jawaban saya karang-karang semaunya.

"Penelitian ini dilakukan di USA bu. Jadi mungkin belum bisa digeneralisasi di Indonesia. Untuk penelitian disana sudah kuat bua. Dari Universitas terkenal disana. Dan hasilnya menunjukkan faktor penyebabnya adalah seringnya waktu bersama untuk makan maupun memakan camilan. Itu disana. "Di Indonesia menurutmu bagaimana?? Emm..Kalo disini mungkin karena adanya ketenangan hati bu. Kalo sudah menikah kan merasa ada yang melindungi. Hati lebih tenang dan tentram. Pikiran tidak terlalu membebani karena dibagi berdua. Dengan beban yang berkurang maka tingkat stress juga berkurang. Itu yang membuat rasa "ayem" sehingga terjadi peningkatan berat badan." Jawaban yang kata orang jawa, "Digatuk2no mathuk. Dosen saya hanya bisa manggut-manggut sambil tersenyum. Entah setuju, entah merasa tersindir atau entah beliau merasakan sendiri apa yang saya katakan. 

Lalu apa hubungan cerita itu dengan judul diatas tadi???
Tadi adalah ilustrasi bagaimana sebuah kemakmuran bisa menjadi sebuah penyebab meningkatnya berat badan. Kemakmuran disini dalam arti luas, bukan hanya soal materi, namun bisa juga makmur hati dan pikiran. Tapi memang yang lebih utama adalah makmur dalam materi. Banyak kita melihat teman-teman kita atau saudara kita yang dulunya kurus kering, saat setelah menikah dan bekerja serta berkeluarga tubuhnya menjadi membengkak. Ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Semuanya sama.
Jika mau diteliti secara komprehensif dan kompeten, mungkin masih ada hubungannya dengan pengaruh hormonal tubuh kita sehingga terjadi kenaikan berat badan. Tapi di sisi lain, faktor non medis juga berperan. Seperti dalam cerita saya dengan dosen tadi, ketenangan hati, sedikitnya beban, maupun kekuatan lainnya juga turut berperan.


Lalu bagaimana jika teori ini tidak berlaku??
Mungkin kita juga tahu ada beberapa yang tidak mengalaminya. Menikahpun, makmur seperti apapun, tetap saja badannya seperti itu. Kita ambil saja contoh Pak Jokowi. Beliau secara materi sudah makmur. Keluarga juga tidak ada masalah. Tapi badan beliau seperti itu saja. Kurus. Tentu kasusnya berbeda. Dan teori ini bisa dibilang tak terjelaskan.


Sebenarnya ada lagi, yaitu tentang olahraga. Sebuah kata yang mudah diucapkan namun sulit dilakukan. Akhirnya, maksud saya membahas hal ini bukan untuk apa-apa. Hanya sebenarnya hanya introspeksi diri. Ya, yang saya alami seperti yang saya jelaskan diatas. Mungkin ada beberapa teman-teman mengalaminya juga.
Apapun, semuanya harus lah disyukuri. Gemuk, kurus, sebenarnya sama saja. Yang penting sehat. Tapi terlalu gemuk dan terlalu kurus juga tidak baik, karena kita tahu, semua yang berlebihan itu tidaklah baik.
Alangkah lebih baik jika kemakmuran berbanding lurus dengan kesehatan. 
KEMAKMURAN = KESEHATAN.

 

Senin, 22 Juli 2013

(Bukan) Puisi Cinta

Kata orang, cinta itu buta..
Tapi kataku, tidak..
Kalo cinta itu buta, bukan cinta namanya, tapi nafsu..
Cinta tidak buta, bisa melihat yang baik bagi kita dan yang buruk. Bisa melihat mana pasangan terbaik untuk kita, bisa melihat keindahan saat-saat bahagia. Kalo buta? Ya gak pernah bisa apa-apa..

Kata orang, cinta tak harus memiliki.
Tapi kataku, tidak..
Cinta itu harus memiliki..Karena saat memiliki itulah kita bisa berbagi cinta..Saling mencintai dan memberikan kasih sayang. Kalo tidak memiliki, dan tidak bersama, trus cintanya untuk apa? Hanya disimpan dalam hati hingga membusuk dan mati? Kalo memang tidak bisa memiliki, ya tidak ada lagi namanya cinta. Mungkin kagum atau suka saja. Toh yang kita cintai tapi tidak bisa kita miliki tidak akan lagi peduli dengan kita dan akan menemukan cinta baru..

Kata orang, cinta itu sejuta rasanya..
Tapi kataku, tidak..
Cinta ya cinta. Rasanya satu, ya rasa cinta. Kalo sejuta rasanya itu bukan cinta, tapi dampak kalo kita mencintai seseorang. Memang akan muncul rasa bahagia, sedih, cemburu, marah, sesal, dan seterusnya sampe sejuta. Tapi semuanya adalah efek dari rasa cinta kita pada seseorang, bukan rasa dari cinta sendiri.

Kata orang, cinta itu sehidup semati..
Tapi kataku, tidak..
Kalo sehidup bolehlah, soalnya kita butuh untuk saling mencurahkan rasa cinta kita kepada pasangan. Tapi kalo semati? Jangan lah. Karena nyawa dan umur kita bukan kita yang menentukan. Kalo memang belum waktunya malah mengada-ada dengan bunuh diri atau yang lain. Bila takdirnya memang begitu, mungkin itulah cinta sejati..

Ya, banyak kata orang tentang cinta.. Tidak ada yang salah. Karena itu semua adalah persepsi kita.
Yang jelas, cinta bukan untuk dipikirkan, dianalisis atau bahkan diteliti. Bolehlah kata-kata mutiara cinta diciptakan, tapi jangan hanya kata-kata..

Cinta diciptakan untuk dirasakan dan diamalkan, bukan untuk dilampiaskan..
Itu kataku...

Otak (Benar-benar) Seperti Pisau

 Pisau yang lama tidak diasah akan berkarat dan pastinya tumpul. Itu sudah pasti. Banyak orang berkata sama halnya dengan otak kita. Ya, hanya mendengar saja. Tak pernah merasakan. Tapi baru kali ini saya merasakan hal ini.


Sudah lebih setahun meninggalkan dunia perkuliahan, persis bulan ini saya mengikuti prosesi yang begitu sakral dalam hidup, yaitu Wisuda Sarjana. Begitu berbeda dengan hal yang saya rasakan di masa kuliah. Rasanya tidak ada waktu istirahat untuk otak ini untuk digunakan. Entah berpikir kuliah, tugas kuliah, skripsi, proposal, karya tulis, program kerja BEM, dan banyak lainnya. Semua membuat kerja otak bisa dibilang sangat aktif. Dan mungkin dulu dalam satu waktu bisa berpikir untuk lebih dari 10 hal sekaligus.

Hal sangat berbeda saya rasakan sekarang. Untuk digunakan saja hanya sekali-sekali. Itupun hanya berpikir sesuatu yang lebih mengarah ke hal emosi, bukan berpikir yang bertujuan mengasah otak. Entah karena memang kondisi membuat seperti ini, entah karena tidak ada deadline yang mengharuskan berpikir keras ataukah memang seperti ini dunia kerja yang memang tidak membutuhkan pikiran-pikiran cerdas?

Berkarat. Mungkin belum sampai kesana. Tumpul. Ya, sedikit banyak kata itulah yang menggambarkan otak ini. 7 bulan menghadapi dunia kerja yang seperti ini, membuat adanya pengurangan ketajaman dalam otak. Kesalahan mungkin pada diri saya, karena tidak mampu memanfaatkan waktu untuk tetap mengasah otak yang harusnya tetap berfungsi. Tapi semua karena kondisi. Semua terfasilitasi dengan baik untuk memberikan waktu panjang bagi otak saya untuk beristirahat. Walhasil, untuk bergerak kembali begitu sulitnya.
Bila ada yang penggemar berat Spongebob Squarepants, pasti sangat familiar dengan Patrick star, sahabat Spongbob yang sangat bodoh. Ada sebuah episode yang menunjukkan bahwa bila Patrick berpikir akan menimbulkan asap yang sangat tebal dan menyengat. Dan sebuah episode lagi yang menceritakan bahwa otak Patrick tertukar sehingga bisa bergerak lagi.

Yah, memang mungkin saya bukan Patrick yang sebegitu bodohnya. Tapi saya mungkin butuh untuk menggerakkan lagi seperti saat Patrick menggunakan otak barunya.
Caranya? Salah satunya mencoba membuka Blog baru dan menumpahkan apa yang saya rasakan, baik itu yang bersifal Ilmiah ataupun tidak ilmiah, fiksi ataupun non fiksi. Apapun, dengan menulis ini, Otak akan tetap terasah dari waktu ke waktu, tanpa harus berkarat seperti Pisau..
 
Welcome to My Blog, brother, sister, agan, aganwati, mas, mbak dan semua julukan apa saja.