Kamis, 27 Februari 2014

Acara Televisi = Sampah?

Televisi merupakan media yang sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan penikmat televisi ini menjangkau dari kalangan menengah ke atas hingga kalangan ke bawah. Tidak peduli jaman gadget yang semakin canggih, menikmati televisi memang terasa lebih nyaman dibanding yang lain.
Seharusnya hal inilah yang diperhatikan pemerintah sehingga pemerintah mampu menyaring informasi yang ada sehingga masyarakat mendapatkan siaran televisi yang bermutu dan sesuai kebutuhan. Namun yang terjadi saat ini adalah sebaliknya.
Televisi sangat berubah dari fungsi awalnya yaitu sebagai media elektronik yang memberikan informasi mendidik, menjadi sebuah sarana pembodohan bangsa..
Acara tidak jelas, tanpa tujuan, berisi guyonan yang garing semakin merajalela. Dan mirisnya, semua itu laris ditonton dan mendapat rating tinggi.
Entah apa alasan eksisnya acara seperti itu. Harusnya jika memang tidak ada penontonnya, pasti acara tersebut akan mati dengan sendirinya.
Tapi tidak seperti itu. Ternyata penonton Indonesia menyukainya. Saya sendiri heran. Apa yang ditonton dan apa bagusnya?
Tapi keheranan saya tersebut hanyanbisa menjadi tanya saja karena hingga sampai sekarang tetap tidak bergeming dan bahkan semakin menjamur acara sampah itu.
Sepertinya pemerintah harus segera bertindak. Karena jika dibiarkan, lama kelamaan masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Anak anak.sebagai penerus bangsa dijejali tontonan sampah yang tidak bermutu apa jadinya??

Sempurna (Sekuel Kedua Antologi Cerpen Sang Pemburu) Part 1



Joni, salah satu anak dari pasangan pengusaha property dan media cetak ternama di Indonesia, memiliki cita-cita untuk bisa sukses seperti kedua orang tuanya kelak. Serba mewah dan berkecukupan merupakan pandangan yang tidak akan jauh-jauh terlihat dari kehidupan Joni sehari-hari. Duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) Penabur, Jakarta serta diiringi sejumlah prestasi yang sudah ia raih merupakan hal yang biasa bagi dirinya. Sempat berujar ingin melanjutkan studinya sebagai musisi di Sidney dan ingin menciptakan pasar bisnis di bidang musik setelah kembali ke Indonesia kelak, cita-cita tersebut hampir saja ia bubarkan ketika seorang teman sekolahnya mengejek dia karean semua prestasinya didapat karena kesuksesan orang tua Joni.

“He Jon, lu tu beruntung banget punya bokap nyokap yang kaya dan sukses gitu.” Kata teman sekolah Joni yang bertemu Joni saat akan pulang sekolah.

“Enak aja, gue gini karena usaha gue ndiri. Lah lo udah orang tua dokter tapi otak lo gak lebih dari otak teri.” Sahut Joni yang tidak terima karena merasa dihina oleh temannya sendiri.

“Emang lo pernah ngerasain gimana kerasnya dunia luar kagak? Gue meskipun bodo gini, udah bisa cari duit sendiri men. Bokap nyokap gue terlalu sibuk buat merhatiin anaknya. Sampe-sampe anaknya jadi tukang jual-beli hp, mereka kagak bakal tau.” Sahut kembali si Rendra temen si Joni.

Seakan tersambar kilat, Joni pun hanya bisa diam dan masuk ke dalam mobil jemputannya untuk kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dia memikirkan apa yang dikatakan oleh Rendra. Sesampainya di rumah, seperti biasa tidak ada orang tuanya yang menyambut kepulangan Joni. Mereka selalu pulang larut malam dan berangkat pagi buta. Saat itu pula Joni merasa bahwa perkataan Rendra ada benarnya. Dia tanpa berpikir panjang dan memutuskan untuk keluar dari rumah dengan membawa gitar kesayangannya yang mungkin nanti akan menemaninya selama perjalanan di luar rumah.

Berbekal baju yang ia pakai dan gitar di tangan, Joni pun mulai berjalan menyusuri kota Jakarta. Ia berjalan dari rumahnya yang berada di wilayah Kemayoran hingga tidak terasa sudah hampir sampai di Blok M. Ia merasa lelah dan uang saku miliknya hanya tinggal 20 ribu di celana pendeknya yang mulai kusam karena berjalan hampir seharian.

“Kalo ini gue pake buat beli makan atau minum sekarang, besok gue bakal makan atau minum apa ya. Tapi ya udahlah daripada kelaperan, mending gue beliin aja. Besok gue bakal mulai petualangan cari duit. Selama ada gitar ini, gue pasti bisa makan.” Gumam Joni dengan nada optimis.

Dia segera mampir di warung makan di pinggir jalan raya. Dia memesan nasi goreng dan segelas es teh. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menghabiskan keduanya. Karena merasa lelah dan sudah kenyang, Joni mulai mengantuk dan bingung akan tidur dimana setelah ini. Apalagi hari sudah mulai larut malam sekitar pukul sebelas malam.

“Gue tidur sini aja ah, toh banyak juga yang tidur sini” Gumam Joni sambil melihat para pengamen dan gelandangan yang tidur di emperan toko.

Sepanjang malam ia merasakan hawa dingin di luar sambil berpikir dan berbicara pada dirinya sendiri, “kira-kira papa mama nyariin gue gak ya? Ah bodo, gue bakal kasih pelajaran ke mereka kalo mereka kudu lebih merhatiin keluarga sambi gue buktiin kalo gue bisa cari duit dengan keringat gue sendiri.”

Keesokan harinya, ia mulai melangkah kembali. Berjalan menyusuri kota Jakarta. “kayaknya gue ngamen aja deh, gue bakal tunjukkin kalo musisi juga bisa ngamen.” Ujar Joni sambil berjalan selangkah demi selangkah.

Dia mulai masuk kopaja dan menyanyikan lagu jazz favoritnya yang biasa ia latih sehari-hari. Mulai lagu dari George Benson, Frank Sinatra, Nat King Cole, hingga Michael Buble pun ia nyanyikan sepanjang ia naik turun kopaja.

“Susah juga cari duit sendiri. Seharian ngamen cuma dapet segini aja.” Gumam Joni dalam hati. Tapi hingga hari kedua ia pergi dari rumah, Joni merasa tidak ada kabar kehilangan dari orang tuanya yang mencarinya. Paman Joni yang seorang Kapolda pasti akan mengerahkan petugasnya untuk mencari Joni jika orang tua Joni tahu kalau dia sudah tidak di rumah dalam dua hari ini.
~Bersambung~

Jumat, 14 Februari 2014

Ketika Agama Mulai Di'absurd'kan

Melihat berita yang ada di media yang ada saat ini, sungguh ada dua hal yang ada di benak saya. Pertama pusing karena setiap hari disuguhi dengan ribuan masalah di negeri ini. Yang kedua, miris. Banyak hal yang harusnya tidak dilakukan karena bertentangan dengan akal sehat malah cenderung diekspose habis-habisan. Saya disini tidak menyoroti kasus Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan yang mengikuti jejak Ahmad Fathanah sebagai pencinta wanita yang banyak harta. 

Terlalu tidak penting dan tidak ada urgenisitasnya dengan kita. Namun yang akan saya bahas adalah mengenai berita terpanas akhir-akhir ini yang berhubungan dengan Agama. Mungkin banyak dari teman-teman pembaca sudah paham dengan maksud saya. Tapi mungkin pula ada sebagian lain yang tidak update informasi berita sehingga tidak tahu isu apa yang saya maksud. Untuk itu akan saya bahas satu persatu.

Pertama adalah tentang seorang yang disebut ustadz yang telah menodai sendiri gelar ustadznya itu. Namanya Ustadz Hariri. Kejadiannya adalah dia menginjak kepala seorang pemilik sound dengan lututnya di depan umum saat sedang berceramah. 

Awalnya saya juga tidak "ngeh" dengan kasus tersebut. Maklum, saya tidak ada televisi untuk dilihat setiap hari. Internetlah satu-satunya sumber update saya. Setelah sekilas mendengar kabar tersebut, saya langsung mengklarifikasinya dengan berselancar di dunia maya. Dan yang pertama terucap dari mulut saya adalah Astaghfirullahal adzim. Ternyata ustadz yang dimaksud adalah ustadz nyentrik dengan gaya mirip Deddy Corbuzier dan kata khas "coy"nya namun dibalut dengan surban yang dulu muncul pertama kali dalam sinetron ISLAM KTP.

Saya ingat betul wajahnya dan gaya ceramahnya. Nadanya memang selalu meninggi saat berceramah. Namun saya pikir itu memang ciri khasnya dalam berdakwah. Bukan semata karena temperamennya yang kasar. Dan semua itu terjawab sekarang melalui video yang saya lihat langsung bahwa memang benar dia menginjak kepala seorang lelaki paruh baya di depan umum. Kronologinya sendiri saya tidak paham. Namun garis besarnya mungkin begini. Saat itu dia sedang berceramah di suatu kampung. Nah saat berceramah, dia terganggu dengan trouble dari sound system yang ada. Lalu dia memanggil pemilik sound system untuk maju. Awalnya dia hanya memarahinya. Si pemilik sound memohon maaf dan sudah terlihat sangat malu. Namun ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pemilik sound itu langsung disuruh maju, menundukkan kepala dan dengan angkuhnya dia menginjakkan dengkulnya ke leher pemilik sound yang tak berdaya itu.
Speechless. Ya, itu yang saya rasakan saat selesai melihatnya. Seorang ustadz, yang harusnya memberikan mauidhoh hasanah, pesan yang baik dan juga uswatun hasanah, teladan yang baik. Pertanyaan pertama adalah pantaskah dia masih disebut Ustadz? Sebenarnya jika ditelisik dari segi bahasa, kata ustadz artinya adalah guru. Guru yang mendidik, mengajar dan memberikan penjelasan kepada anak didiknya. Memang, tidak ada sekolah profesi khusus untuk mendapatkan gelar ustadz di dunia ini. Hanya normatif saja di masyarakat. Namun untuk konteks saat ini istilah ustadz di Indonesia bergeser menjadi seseorang yang mampu berdakwah, memberikan ceramah dan taushiyah, dan bisa memberikan penjelasan mengenai agama kepada orang awam. Pengertian tersebut saya rasa masih bisa dimaklumi mengingat Indonesia bukanlah negara Islam atau negara Arab. Jadi Istilah Ustadz boleh-boleh saja dianggap seperti itu karena masih positif.
Namun saya rasa sekarang sudah lebih menyimpang lagi pengertian ustadz. Menjadi ustadz sekarang gampang. Hafal beberapa potong ayat Al Qur'an, hafal beberapa Hadis Rasul, juga terjemahannya, berpakaian layaknya orang alim. Surban peci, baju panjang dan bersuara fasih, sudah akan dipanggil "Ustadz". Tidak peduli tabiatnya seperti apa ataupun latar belakangnya apa.Termasuk kasus Ustadz Hariri ini (saya masih menggunakan kata ustadz di depannya karena tidak ada hukum yang memberlakukan pencabutan gelar ustadz saat dia bersalah.). Seingat saya dia adalah lulusan Pondok Genggong yang terkenal. Namun akhirnya tetap saja kembali kepada individu masing-masing. Lulusan pondok pesantren sebaik apapun, se"khos" apapun kiainya, jika santrinya tidak mampu menyerap ilmu yang dia dapatkan, meyakini dalam hatinya dan menyampaikannya dengan akhlaqul karimah, hasilnya akan muncul Ustadz-ustadz serupa dengan Ustadz Hariri.
Lalu sikap kita sekarang bagaimana? Apakah kita apatis dengan memandang semua ustadz sama?
Tentu tidak. Kita walaupun tidak memiliki ilmu agama yang tinggi paling tidak kita masih punya logika. Kita harus bijak memilih siapa yang menjadi panutan kita atau minimal yang kita dengarkan ceramahnya. Jika ada kasus seperti ini, sudah tidak perlu lagi lah kita untuk menggunakan jasanya untuk bertaushiyah.
 
Itu hal pertama. Selanjutnya adalah berita yang cukup menggelitik namun juga miris. Untuk mengundang antusiasme masyarakat dalam solat berjamaah, beberapa masjid menggelar undian berhadiah bagi jamaahnya. Dan hadiahnya tidak tanggung-tanggung. Sebuah mobil Toyota Innova disiapkan, bahkan dipajang di halaman masjid tersebut. Dan ada yang lebih heboh lagi yaitu berhadiah Haji dan Umroh. Luar biasa.
Saya tertegun dengan fenomena di atas. Di satu sisi saya melihatnya sebagai sebuah upaya untuk memakmurkan masjid, membuat masyarakat tergerak untuk berjamaah di masjid. Di sisi lain, apakah separah itukah umat Islam jaman sekarang, sampai-sampai harus disediakan hadiah seperti itu. Padahal solat adalah ibadah individu, yang harus diniati Lillahi ta'ala. Kita berjamaah untuk mendapatkan keutamaannya, yaitu 27 derajat lebih besar dari solat munfarid (sendirian). Nah, kalo ada mobil atau umroh sebagai rewardnya, bukankah niatnya sudah berubah? Yang dituju bukan Allah Swt lagi, tapi Toyota Innovanya atau hadiah haji dan umrohnya.
Saya terakhir membaca ternyata upaya tersebut dilakukan oleh pihak pemerintah demi mencapai gelar Kota Religius. Jika tidak salah itu di Bengkulu. Lagi-lagi, tujuannya adalah materi, materi dan materi. Agama sudah dianggap barang yang bernilai komersil. Bukan lagi sebagai pegangan atau tujuan hidup.
Absurd. Sangat absurd. Agama sangat dibuat menjadi rendah oleh tangan manusia. Entah dua fenomena diatas adalah sebuah konspirasi untuk menjelekkan imej agama Islam atau memang kadar keislaman kita sudah sangat luntur. Yang jelas dua hal di atas sudah mencoreng kesucian Agama Islam.
Sekali lagi, akal sehat benar-benar harus sehat dalam melihat berbagai persoalan. Hati nurani harus dibangunkan untuk mencermati fenomena yang ada. Ketika semua sudah absurd, jika kita tak mampu mengubahnya, minimal kita sendiri tidak ikut-ikutan absurd.



Rabu, 05 Februari 2014

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 10 ~ Selesai



Suara lembut membuat mataku terbuka kembali. Tapi saat kubuka mata, suasana yang ada di sekitarku sungguh berbeda. Aku berada di sebuah kamar mewah. Dimana ini?
“Bi, abi sudah bangun kan? Sekarang sudah jam setengah dua, Bi.” Suara itu membuyarkan pikiranku.
Pemiliki suara itu pergi menuju ke kamar mandi. Kudengar percikan-percikan air mengalir di tubuhnya. Kuangkat badanku perlahan. Lalu kupandang foto pernikahan di atas televisi LED 32 Inch. Sepertinya ada wajahku. Kuputar ingatanku lekat-lekat, lalu kuamati lagi foto itu.
“Astaghfirullahal adzim.” Ucapku sambil mengucek mataku.
Aku kan sudah menikah dengan Nana. Dan foto itu adalah foto pernikahanku dengan dia. Kulirik kalender di seberang spring beku. Sudah satu tahun aku menikah. Ya Allah, ternyata baru saja aku bermimpi, dan mimpi itu adalah masa laluku. Masa-masa dimana aku mengalami cobaan berat di hidupku. Aku melangkah dan mencoba memulihkan ingatanku. Aku ingat semuanya sekarang.
Sekarang aku adalah dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, aku juga sering mengisi acara dakwah di beberapa stasiun televisi swasta. Sedangkan Nana, menjadi pemilik perusahaan kontraktor milik papanya, mertuaku, Pak Tono. Namun sebenarnya, akulah yang memanajemen perusahaan itu, karena aku ingin Nana menjadi ibu rumah tangga.
Satu hal lagi, aku dan Nana baru saja berbahagia karena seorang manusia mungil bernama Maulana Yusuf Al Farisi telah hadir di tengah kami. Dia kini terlelap di atas singgasana tidur mungilnya.
“Ooeek, ooeek, ooeek..” suara Yusuf kecil mengagetkanku.
Kuhampiri dan kugendong penuh kasih sayang.
“Hsss....ssss.....sss....sayang...kenapa, Nak?” ujarku pada anakku.
“Oeekk, oeekk, oeekk...”
Nana keluar dengan wajah basah karena air wudlu.
“Kenapa, Bi? Pipis?” tanyanya.
“Nggak, nih. Mungkin haus, Mi.”
Nana mendekat dan mengambil alih Yusuf dari gendonganku yang lembut.
“Uh, sayaaaang. Haus ya? Mimik dulu ya?” ujarnya penuh kasih sayang. Dia mulai memberi Yusuf nutrisi yang terbaik bagi Yusuf, Air Susu Ibu.
“Bi, Abi nggak ambil air wudlu? Kita jamaah seperti biasa. Yusuf juga sebentar lagi tidur lagi. Dia kan nggak pernah rewel, ya kan, Nak?” ucapnya lembut.
“Iya, Mi”
Kumasuki kamar mandi dan kuambir air wudlu. Dingin, tapi begitu menyegarkan.
Mulai malam ini, aku ingin merasakan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.
Robbana atinaa fid dunyaa Hasanah, wafil akhiroti Hasanah, waqinaa aadzaabannaar..

Karya saya, Cerpen SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) ini adalah Sekuel Pertama Antologi Cerpen “Sang Pemburu” yang dibuat untuk tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia saat SMA.
Nantikan sekuel-sekuel lainnya pada postingan selanjutnya, karya teman-teman saya.


Senin, 03 Februari 2014

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 9

Aku terhentak. Apa tadi Pak Tono bilang? Universitas Al Azhar Kairo? Ini mimpi apa beneran ya?
"Nana bilang kamu nggak bisa kuliah karena biaya. Tapi kamu sangat ingin kuliah. Ini kesempatan kamu, Li." jelas Pak Tono
"Iya Pak. Alhamdulillahi robbil alamin." ucapku penuh syukur.

Ya Allah terimakasih. Kau berikan jalan untukku dengan tangan Pak Tono ini Mungkin jalanku bukan di kampus favorit di tanah air ini seperti teman-temanku yang lain. Bukan UI, ITB, UGM, Undip, Unair dan kampus favorit lain. Tapi lebih dari semua itu, Universitas Islam terbesar di dunia, Al Azhar.

"Tapi ada syaratnya," timpal Pak Tono kemudian yang membuyarkan lamunanku.
"Ih, papa. Koq ada syarat segala sih, Pa." protes Nana.
"Syarat apa pak?" tanyaku penasaran.
"Setelah kuliah, kamu harus tinggal sama aku dan Nana di rumahku. Tapi bukan sebagai orang lain, sebagai menantuku, lho." kata Pak Tono sambil melirik dan tersenyum ke arah Nana.
"Alhamdulillah..."ucapku refleks..
"Eh, eh, emh, i iya,,Insya Allah pak. Tapi apa Nana mau, Pak?" lanjutku grogi.
"Mau, mau, mau!" ucap Nana dengan lugunya.
"Uppss.." ucapnya kemudian dengan wajah memerah.
"Kalau begitu nggak ada masalah kan?" ucap Pak Tono dengan wajah penuh kemenangan.

Aku dan Nana menunduk. Malu, senang, dan banyak lagi yang lain. Kupandang wajahnya, eh dia juga memandangku.

"Kalo gitu aku sama Nana mau cari sarapan dulu, Li. Kamu istirahat saja Li. Biar segera pulih."
"Iya pak."
"Assalamualaikum."
"Wa alaikum salam."

Berat pelupuk mata ini. Akhirnya kupejamkan mata ini untuk mengistirahatkan diriku. Dan..

"Bi, bi, Abi..Bangun bi.."
~Bersambung~

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 8

Gelap. Kenapa dunia jadi gelap. Apa aku sudah mati? Tubuhku ringan. Aku coba untuk mencari cahaya, tapi tak ada. Sunyi dan sepi yang kurasa. Dimanakah ini?

Telah lama kurasakan kegelapan ini. Entah sudah berapa lama aku terkurung dalam kegelapan ini.

Saat aku menikmati kegelapan dan kesunyian ini, datang sebuah cahaya menyilaukan mata. Makin lama makin terang dan akhirnya saat kubuka mata yang kulihat hanya satu warna, putih. Apakah ini surga? Tapi dimanakah bidadarinya?

“Li, kamu sudah sadar.” Terdengar suara yang tidak asing bagiku. Kulihat dengan seksama. Bidadari??? Ternyata ini benar surga.

“Di mana ini dan kamu siapa?” tanyaku pada bidadari itu.

“Li, ini aku, Nana, Li. Kamu di rumah sakit. Udah tiga bulan kamu disini dan kamu baru sadar sekarang.” Ucapnya penuh haru.

“Nana??”

Aku mencoba memutar memoriku. Kucari memoriku tentang sebuah nama. Nana. Oh, Nana. Aisyah Sabrina Putri. Ya, aku ingat. Memang mirip dengan wanita di depanku ini. Tapi dia koq berjilbab?

“aku seneng kamu udah sadar Li,” kata Nana sambil tersenyum dan mata berkaca-kaca.

Beberapa saat kemudian, Pak Tono datang.

“Pa, Ali siuman Pa. “ sambut Nana sambil memeluk papanya.

“Alhamdulillah.”

Kebahagiaan menghiasi wajah Nana dan Pak Tono. Aku yang sudah lama dirawat di rumah sakit dan dicemaskan selama ini telah sadar kembali.

“Li, kami bersyukur kamu sudah sadar. Kami ikut berbela sungkawa atas wafatnya ibumu, Li.” Suara Pak Tono sayup-sayup terdengar.

Aku diam. Ayah dan ibuku sekarang telah tiada. Tiga bulan yang lalu, aku masih bisa makan pecek tempe buatan ibuku. Saat itu ibu sudah bilang jika dia mau pergi. Kupikir hanya gurauan. Namun, ibu ternyata sudah mendapatkan firasat. Tapi, aku tidak menemaninya di saat-saat terakhirnya. Aku tidak bisa menciumnya untuk yang terakhir kali. Ya Allah ampunilah hamba-Mu yang tidak dapat membahagiakan ibunya ini. Pipiku pun terasa hangat karena air mata.

“Iya, Pak. SAma-sama. Terima kasih sudah bersedia menunggu dan membiayai pengobatan saya selama ini. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa.” Ucapku.

“Sudahlah, Li. Kamu sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. Oh, iya. Ini lho li yang paling cemas waktu kamu belum sadar. Dia setia nungguin kamu 24 jam sehari selama tiga bulan ini, Li. Dia juga rela tidak masuk kuliah demi kamu, Li.”

Nana tersipu.

“Kamu berjilbab sekarang, Na?” tanyaku

“Alhamdulillah, Mas, eh,Li.” Jawabnya.

“Ohh..itu juga berkat kamu, Li.” Sahut Pak Tono.

“Koq bisa karena saya pak?” aku heran.

“Ya bisa toh. Dia melihat begitu berat ujian yang kamu pikul. Sedangkan dia selama ini hanya merasakan hidup yang enak-enak saja. Kuliah, shopping, hang out dengan teman-teman, minta apa-apa ke aku selalu aku kasih. Dia tidak pernah membayangkan jika dia yang menjadi kamu.” Jelas Pak Tono.

“Lalu dia sadar kalau dia masih belum memiliki iman yang mantap. Dia masih mengumbar auratnya. Dia pun memutuskan untuk berjilbab dan tentunya semakin mendekatkan diri kepada Allah.” Lanjut Pak Tono.

“Alhamdulillah pak. Saya ikut bahagia melihat Nana lebih baik. Kamu juga tambah cantik kalo berjilbab, Na.” sahutku.

Dia tersenyum dan memerahlah pipinya.

“Li, sekarang kamu kan sendiri. Lalu bagaimana rencana hidupmu selanjutnya?” Tanya Pak Tono kemudian.

“Entahlah Pak. Saya tidah tahu bagaimana hidup saya selanjutnya. Tapi saya akan memasrahkan semuanya kepada Allah Pak. Pasti Allah tahu yang terbaik bagi saya. “ ucapku pasrah.

“Yang tabah ya, Li?” timpal Nana.

“Iya Na. Insya Allah. Allah tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya melebihi batas kemampuan hamba-Nya itu koq Na.” jawabku sambil tersenyum.

“Ngomong-ngomong, Li. Kemarin bapak dapat telpon dari teman akrab bapak yang berdomisili di Mesir. Katanya dia punya beasiswa buat kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Dan dia juga nyediain tempat tinggalnya. Tapi anak bapak kan udah kuliah di UI. Tuh, si Nana. Kamu mau nggak kuliah di Mesir?” tanya Pak Tono.

~Bersambung~