Rabu, 15 Oktober 2014

Dua Kali Menginspirasi dalam Lima Hari (Cerita dari Kelas Inspirasi Semarang hingga Kelas Inspirasi Jember)


Awalnya saya sama sekali tidak tahu sama sekali tentang Kelas Inspirasi. Tapi ada seorang teman saya yang aktif di Kelas Inspirasi dan selalu update informasi tentang KI. Lama-kelamaan saya penasaran dan bertanya kepadanya tentang KI. Saya disarankan untuk melihat Youtube KI dan mengunjungi website KI. Setelah saya melihat video-video kegiatan KI, saya merasa tertarik dan kemudian saya mengunjungi website KI. Saya melihat ada banyak jadwal KI yang dibuka dan saya bingung memilih yang mana, karena rata-rata ada di Jawa Timur. Ada di Jember juga, tanah air saya. Tapi posisi saya di Rembang, Jawa Tengah. Setelah saya telusuri, ternyata ada KI Semarang. Akhirnya saya putuskan untuk memilih KI Semarang, yang berjarak sekitar 100 KM dari tempat saya bekerja di Rembang.
Jujur, awalnya saya sedikit merasa tidak antusias karena saya merasa saya sudah biasa mengajar anak-anak, dan tidak akan ada yang spesial. Namun semua berubah ketika saya mengikuti briefing KI Semarang di Galeri Indosat Pandanaran. Di sana saya melihat banyak relawan dari berbagai latar belakang yang sangat antusias untuk berbagi. Lalu saya sadar, memang selama ini saya sering interaksi dengan anak-anak. Tapi bukan berbagi mimpi. Akhirnya saya sangat bersemangat untuk mengikuti jejak demi jejak dalam Kelas Inspirasi. Saya semakin tertantang ketika ditunjuk menjadi ketua kelompok dengan sebutan Pak Lurah. Dengan berbagai latar belakang anggota kelompok, saya harus bisa memberikan yang terbaik bagi kelompok saya. Kami mendapat kesempatan untuk berbagi di SD Islam Al Hikmah.


25 September 2014. Hari bersejarah bagi saya. Hari pertama bagi saya menginspirasi di Kelas Inspirasi. Saya berangkat dari Rembang pukul 3 pagi dengan sepeda motor. Saya berharap tidak terlambat. Sepanjang perjalanan saya merasa berdebar-debar dan sangat bersemangat karena ini adalah pertama kalinya saya menginspirasi di KI. Sesampainya di Sekolah, ternyata semua sudah siap. Sambutan dari mereka sangat luar biasa. Baik guru maupun siswa sangat antusias dengan kedatangan kami. Semua kegiatan berjalan sangat lancar. Kami sangat bangga dan merasa terharu atas kegiatan KI ini. Maklum, hampir semua anggota kelompok kami adalah pertama kalinya mengikuti Kelas Inspirasi. Setelah acara pun kami masih berlama-lama di sekolah karena sangat berat rasanya untuk meninggalkan mereka semua. Akhirnya kami pun berpamitan. Tapi kami sepakat akan kembali lagi ke sekolah itu dengan mencari waktu yang luang untuk menindak lanjuti kegiatan hari ini.
Di jadwal, tiga hari setelah hari inspirasi adalah waktu untuk Hari Refleksi KI Semarang. Sayangnya saya harus pulang ke Jember, tanah kelahiran saya, karena ada acara penting di sana. Saya sangat berat untuk tidak bergabung dengan teman-teman relawan lain. Tapi acara di Jember memang tidak bisa ditinggalkan. Secara tidak sengaja saya membaca tweet dari KI Jember bahwa tanggal 29

September adalah hari Inspirasi di Jember. Kemudian saya mencoba bertanya pada panitia KI Jember apakah saya bisa bergabung. Rencana saya saya bergabung bukan menjadi relawan, karena saya sadar saya tidak mengikuti proses dari awal seleksi, hari briefing dan sebagainya. Saya hanya ingin bergabung untuk mengetahui proses di KI Jember.
Tapi ternyata respon panitia berbeda. Saya dimasukkan menjadi Relawan “ilegal”, sebagai pengajar. Di satu sisi saya sangat senang karena bisa menjadi pengajar di KI Jember. Di sisi lain, saya sama sekali tidak mempersiapkan apa-apa karena sangat mendadak dan saya tidak berencana menjadi pengajar. Namun ini saya anggap sebagai tantangan dan kesempatan emas. Kapan lagi bisa bergabung di dua Kelas Inspirasi sekaligus hanya dalam waktu kurang dari seminggu? Saya mendapatkan jatah di SD Pace 5 Kecamatan Silo Jember. Karena saya tidak paham lokasi, maka saya dan semua anggoata kelompok melakukan survei sekaligus untuk berkenalan dan mempersiapkan untuk hari inspirasi. Saya sangat heran. Ternyata relawan pengajarnya hanya dua orang termasuk saya. Sedangkan kami menghandle semua kelas. Dan lagi lagi secara spontan saya me-lead kelompok kami agar bisa berjalan sukses dengan kondisi yang ada.
Senin, 29 September 2014. Hari Inspirasi KI Jember datang. Jarak Sekolah cukup jauh. 1,5 jam dari pusat kota dan berada di tengah hutan karet, tanpa adanya listrik. Medan yang kami lalui juga luar biasa. Tapi rasa lelah kami terbayar saat kami sampai dan disambut dengan upacara bendera yang sangat berkesan. Sangat berbeda dengan upacara yang biasanya sangat formal. Di sini upacaranya masih sangat sederhana dan banyak kelucuan yang muncul karena geliat para siswanya. Itu menjadi awal berkesan bagi kami. Dan kami pun melalui satu demi satu tahap di sana. Setelah selesai kami pun berpamitan. Kami tak akan bisa melupakan hari itu. Kepolosan dan kesederhanaan siswanya, keramahan gurunya dan kondisi sekolah nya sangat pantas untuk dikenang. Kami pun berusaha di lain waktu untuk kembali ke sana.
 Refleksi KI Jember dilaksanakan di hari yang sama dengan hari Inspirasi agar memudahkan relawan yang berdomisili di luar kota. Dan di situlah saya merasakah mengikuti Refleksi KI setelah melewatkannya di KI Semar
ang. Saya merasa bangga bisa bergabung dengan Kelas Inspirasi, baik di Semarang ataupun di Jember. Saya bisa mengikuti Briefing dan Hari Inspirasi KI Semarang, dan mengikuti Hari
Inspirasi dan Refleksi di Jember. Dua kali menginspirasi itu membuat saya semakin sadar diri, bahwa kita jauh lebih beruntung dari mereka. Saya berencana untuk membuka Kelas Inspirasi di Rembang dengan saya sebagai perintisnya. Semoga bisa terlaksana.
Dua kali menginspirasi di dua kota di Kota Tengah-tengah Pulau Jawa dan di Ujung Timur Pulau Jawa, hanya dalam waktu lima hari. Sangat luar biasa bagi diri saya. Kesempatan emas untuk bisa bertemu dan berbagi dengan mereka. Semoga saya dapat semakin banyak menginspirasi dan mendapatkan inspirasi dari Kelas Inspirasi selanjutnya. Kita memang menginspirasi mereka, tapi justru kita yang terinspirasi, bisa berintrospeksi dan berefleksi untuk diri kita sendiri. Mungkin kontribusi kita di KI memang tidak banyak karena hanya sehari kita berbagi dengan mereka, tapi saya yakin hal kecil itu bisa merubah masa depan mereka.

 “Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi atau terlalu muluk, hanya bagaimana kita memantaskan diri kita untuk meraihnya.”
Bastomy Ali Burhan

Rembang, 11 Oktober 2014

Selasa, 23 September 2014

Mengantar Mimpi ke Jogja

Dulu, saat setelah lulus dari dunia perkuliahan, saya sangat bersemangat untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang S2. Cita-cita saya dan juga keinginan ayah saya adalah menjadi seorang dosen. Dosen-dosen saya banyak yang mendukung saya dan menyarankan saya untuk lanjut di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Saya pun memantapkan keinginan saya untuk belajar ke sana. Namun keinginan saya tersebut harus tertunda. Tapi cerita ini bukan tentang saya. Tapi tentang seorang anak desa yang mengejar mimpi ke Jogja. Kuliah di Universitas Gajah Mada. Kampus yang sama dengan yang saya idamkan untuk S2.
Dia adalah Lina. Anak seorang kader di desa Labuhan Kidul. Awalnya saya tidak kenal dengan Lina karena memang saya tidak pernah bertemu dengannya. Dia mondok sehingga tidak di rumah saat saya berkunjung ke rumah Ibunya. Kebiasaan saya memang di samping bekerja, saya sekaligus bersilaturahmi ke rumah kader-kader. Jadi setiap berkunjung ke rumah kader, tidak cukup satu-dua jam saja di sana. Dan dari sanalah banyak cerita yang bisa saya dapatkan.
Suatu hari saya mengambil tugas ke rumah kader tersebut. Belum saya mematikan motor saya, kader tersebut berkata, “Om Tomy, wes tak arep-arep. Aku arep jauk saran.” (Om Tomy, sudah saya tunggu. Saya mau minta saran,-red). Saya kaget. Ada apa kok sampai sebegitu pentingnya diri saya. Ternyata beliau bercerita bahwa anaknya sudah kelas 3 MA dan ingin melanjutkan kuliah. Dan anaknya mengatakan tentang beasiswa Bidik Misi yang akan dia ikuti. Kader saya tersebut bertanya, “Bidik Misi kui opo Om?” (Bidik Misi Itu apa Om?-red).
Saya pun menjelaskan semampu saya. Kebetulan dulu pada saat kuliah dulu saya dekat dengan pihak kemahasiswaan kampus sehingga saya kurang lebih paham soal beasiswa. Salah satunya Bidik Misi. Kader saya dan suaminya terlihat sangat antusias mendengarkan saya “berceramah” soal Bidik Misi. Saya paham. Mereka memiliki tingkat pendidikan rendah dan informasi tidak bisa mereka jangkau karena mereka telah sibuk dengan mencari nafkah.
Saya sendiri sangat bersemangat ada seorang anak perempuan desa yang akan melanjutkan ke bangku kuliah. Maklum, di desa yang saya dampingi tersebut, tingkat pendidikan rata-rata lulusan SMP. Jarang yang menempuh S1. Apalagi perempuan. Mayoritas Lulus SMP/SMA sudah dinikahkan. Ini sangat berbeda. Di ujung saya menjelaskan, sang bapak berkata, “Gak salah aku jauk saran Nang Om Tomy. Maturnuwun Om.” (Tidak salah aku meminta saran ke Om Tomy. Terima Kasih Om,-red).
Setelah itu saya sudah lupa tentang hal itu karena kesibukan saya.  Dan memang sudah lama kader saya tidak memberikan kabar tentang anaknya. Entah beberapa Minggu atau bulan kemudian saya ke sana. Sekali lagi, kedatangan saya disambut berbeda. Bahkan kali ini jauh lebih menghebohkan. “Om Tomy. Alhamdulillah. Koq yo pas sampean mrene. Iki aku lagi bingung. Bapake yo bingung. Lina arep nangis Om Tomy.” (Om Tomy, Alhamdulillah. Koq pas sekali kamu ke sini. Saya bingung. Bapaknya juga bingung. Lina sudah ingin menangis,-red). Saya yang datang sudah sore menjelang malam itu pun ikut bingung. Ternyata ini soal beasiswa Lina. Akhirnya mereka menceritakan panjang lebar. Mendengarnya, saya yang berencana hanya mampir lima menit untuk mengambil tugas kemudian pulang karena sudah menjelang magrib pun mengurungkan niat saya itu.
Lina telah diterima menjadi Mahasiswa S1 Universitas Gajah Mada melalui jalur Beasiswa Bidik Misi. Alhamdulillah. Dan besok adalah deadline pengiriman berkas daftar ulangnya secara online. Lina diantar oleh bapaknya pergi ke pusat kecamatan untuk melakukan registrasi di warnet. Tapi usaha mereka sia-sia karena flashdisk Lina terserang virus yang ada di komputer warnet tersebut. Padahal semua berkas Lina ada disana. Itulah yang membuat Lina ingin menangis. Orang tuanya yang tidak paham tentang teknologi pun semakin bingung.
Saya terdiam sejenak kemudian mencoba menenangkan mereka dengan berkata bahwa saya akan coba bantu. Saya keluarkan laptop kesayangan dari tas. Lalu saya lihat sinyal smartphone saya. Lumayan walaupun tidak full. Saya hidupkan hotspot dari Smartphone agar laptop bisa saya gunakan untuk berselancar di internet. Saya coba mengerahkan semua kemampuan saya. Saya berkutat dengan laptop saya dengan dihiasi wajah harap-harap cemas dari Lina, Ibunya dan Bapaknya. Mereka berkali kali mengucapkan terima kasih kepada saya. Makanan dan minuman disiapkan di sebelah laptop saya. Bahkan saat saya mengusap keringat yang mengucur, sang bapak keluar untuk meminjam kipas angin kepada tetangga karena mereka tidak memilikinya. Saya sampai merasa tidak enak. Tapi saya tetap berusaha konsentrasi.
Malam pun semakin larut. Semua data sudah ter-input dengan baik. Saya pastikan semuanya kemudian saya berpamitan. Sang Ibu berkata, “Maturnuwun ingkang kathah loh Om Tomy. Aku ora ngerti nak mau Om Tomy ora mrene. Pitulungan Gusti Allah teko lewat sampean.” (Terima Kasih banyak Om Tomy. Aku tidak tahu kalau kamu tidak ke sini. Pertolongan Allah datang lewat kamu,-red). Sang bapak juga menimpali, “Kulo mboten saget mbales bantuane Om Tomy. Kersane Gusti Allah hengkang mbales.” (Saya tidak bisa membalas bantuanmu Om Tomy. Biarlah Allah yang membalasnya,-red). Saya hanya bisa tersenyum dan mengamininya.
Beberapa hari kemudian saya mendapatkan kabar Lina sudah mulai melaksanakan OSPEK di Pendidikan Fisika UGM. Kader saya sangat antusias menceritakan tentang anaknya yang sangat dia banggakan itu. Saya tersenyum dan merasa sangat bangga.
Dan dalam hati saya berkata, “Lina saja bisa meraih mimpinya kuliah di UGM. Saya harus bisa!”

“Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, hanya terkadang kita yang kurang gigih untuk mencoba meraihnya.”

Rembang, 23 September 2014





Jumat, 19 September 2014

Senyum Afia Terkembang (Lagi)

Beberapa waktu lalu, saya sempat menulis tentang sosok Afia. Seorang anak dari keluarga kurang mampu yang mengalami kecelakaan cukup hebat sehingga membuat dia tidak sadarkan diri hingga 3 bulan dan setelah sadar dia mengalami keterbatasan yaitu kelumpuhan fisik. Dan saat itu pula saya sampaikan bahwa Afia tetap menunjukkan keceriaanya di tengah keterbatasannya.
Beberapa saat setelah saya menulis artikel tersebut, saya mendapatkan kabar bahwa Afia sudah mulai bersekolah. Saya sangat senang mendengarnya. Saya sempatkan mengunjungi Afia dan rumahnya. Ternyata Afia sekolah dengan cara digendong oleh ibunya. Padahal ibunya sudah cukup renta untuk menggendongnya. Namun pancaran semangatnya mampu mereduksi berat tubuh Afia yang beliau gendong.
Sekali lagi, setiap saya melihat kondisi rumahnya, saya sangatlah miris. Belum bisa dikatakan rumah. Hanya sepetak tanah dengan kamar, dapur dan pancuran air. Dari situ saya tergerak untuk bisa membantunya. Saya coba ajukan bantuan ke tempat saya bekerja. Karena memang inilah bidang tempat saya bekerja.
Ternyata respons juga cukup baik dari pihak lembaga. Afia akan mendapat bantuan berupa toilet dan jamban di rumahnya agar rumahnya lebih layak dan sehat. Saya pun sangat bersemangat untuk membantunya. Saya berencana untuk mensurvei rumah, mengukur tempat dan sebagainya. Saya pun menyampaikan rencana tersebut kepada Ibu Afia. Saat semangat saya menggebu-gebu, tiba-tiba harus putus di tengah jalan. Ternyata bantuan kepada Afia gagal, oleh karena persoalan administratif dan birokratis. Seperti biasa persoalan klasik di Indonesia. Saya sangat kecewa. Saya bingung bagaimana cara saya menyampaikan batalnya bantuan ini kepada Ibu Afia.
Akhirnya saya beranikan diri untuk menyampaikannya. Dan jawaban dari Ibu Afia sangat tidak saya duga. “Mas, kulot mboten nolak didamelaken WC. Kulo remen mas.Tapi griyo kulo niki sanes dibangun teng tanah kulo. Kulo meniko ngampung dateng derek mas. Kulo Mboten wantun. Mangke Wonten Nopo-nopo.”
(Mas, saya sebenarnya tidak menolak dibangunkan WC. Saya senang mas. Tapi Rumah saya ini tidak dibangun di tanah saya sendiri. Saya ini  menumpang di saudara saya. Saya tidak berani. Takut ada apa-apa,-red)
Entah apa yang saya rasakan saat mendengarnya. Lega karena kebatalan bantuan ini tidak mengecewakan beliau. Juga sedih mengetahui bahwa sebegitu susahnya beliau dan Afia. Saya pun pulang dengan membawa rasa yang bercampur aduk. Dan keinginan saya untuk membantu Afia semakin besar. Tapi dalam bentuk apa? Saya ingin membantu tapi takut salah dan malah menyinggung mereka.
Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Momen tersebut saya manfaatkan untuk membantu Afia. Saya sisihkan sebagian uang saya dengan nilai yang mungkin tidak bernilai menurut orang lain. Tapi itulah kemampuan saya. Saya tidak sampaikan langsung, tapi saya titipkan kepada teman saya yang asli warga sana. Saya pun cukup merasa lega.
Waktu berlalu. Saya disibukkan dengan aktivitas saya. Hingga suatu hari seorang ibu menyapa saat saya melintas di desa. “Mas Tomy, maturnuwun nggeh.” (Mas Tomy, Terimakasih.,-red). Ternyata beliau adalah Ibu Afia yang sedang menunggu Afia pulang dari sekolah. Saya pun memakirkan motor dan bersalaman dengan beliau. Tak lama kemudian Afia datang. Ternyata Afia sudah pulih total. Dia sudah bisa berjalan sendiri, bisa sekolah seperti biasa. Alhamdulillah.
“Monggo mampir, mas.” (Silahkan mampir mas,-Red). Sebenarnya tawaran itu tidak ingin saya tolak. Namun agenda pada hari itu sangat padat sehingga terpaksa saya menolaknya. Kemudian kami pun berpisah. Sepanjang jalan saya tersenyum sendiri. Entah mengapa, begitu bahagianya saya melihat Afia sudah bisa berjalan, bisa bersekolah dan tetap ceria. Senyum Afia akhirnya mengembang lagi diiringi senyum dari Ibunya yang sangat menyayanginya.
Raih cita-citamu, Afia! Senyumanmu dan Ibumu akan terus mengiringi langkahmu.
“Sesuatu yang kadang tak bernilai bagi kita, akan menjadi begitu bernilai dan membekas di hati orang lain.”
Rembang, 20 September 2014



Minggu, 22 Juni 2014

Sawang Sinawang yang Positif

"Urip iki sawang sinawang"
Pepatah Jawa diatas seringkali kita dengar, utamanya dari orang tua kita. Jika diterjemahkan secara bebas, artinya mungkin adalah "hidup ini saling melihat, saling membandingkan". Tapi secara makna bisa berarti bahwa di dalam kehidupan kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan merasa orang lain memiliki kehidupan yang lebih baik dari kita.
Pepatah tersebut agak mirip dengan peribahasa "Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri"
Kita selalu menganggap orang lain lebih baik, lebih beruntung, lebih enak, lebih nyaman dan lebih - lebih yang lainnya. Dan uniknya, bisa jadi orang yang kita anggap lebih itu juga menganggap kita lebih daripada mereka. Lalu siapakah yang benar benar lebih? Tidak ada jawabannya karena itu adalah persepsi.
Jika anggapan kita tersebut membuat kita melakukan hal yang negatif, maka bisa masuk ke dalam kategori iri bahkan dengki.
Namun sebaliknya, sawang sinawang ini juga bisa berdampak positif. Bagaimana maksudnya?
Dasarnya adalah bahwa manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing. Tidak bisa kita samakan antara manusia satu dengan yang lain. Nah disinilah sisi positif muncul. Dengan melihat kelebihan orang lain, kita semakin terpicu untuk lebih baik. Bisa menyamainya. Atau bahkan melebihinya dengan jalan kita sendiri tentunya..
Dan untuk kekurangan orang lain, dapat membuat kita merasa semakin bersyukur bahwa kita diberikan kelebihan dibanding mereka..
sebenarnya, istilah di atas sudah umum. Namun sepertinya sangat sulit dipraktekkan di kehidupan nyata. Realitanya adalah kita merasa sombong dengan kelebihan kita, mencibir kekurangan orang lain dan merasa iri dengan kelebihan mereka.
Semua itu bergantung pada hati masing masing. Kejernihan pikiran dan kesucian hati yang paling menentukan.
Akhirnya, sawang sinawang itu wajar dan manusiawi..Tapi bagaimana kita bisa membuat itu untuk diri kita yang lebih baik.
Ingat pula,
Lihatlah ke atas dalam prestasi..
Dan tengoklah ke bawah dalam materi..

Kamis, 19 Juni 2014

Ekspansi Semen di Rembang, Pro Kontra yang Semakin Meruncing.


Semen Gresik telah lama menjadi sebuah Brand semen yang terkenal di Indonesia, bahkan sekarang di Asia Tenggara. Pada awalnya nama Gresik digunakan karena tambang utamanya ada di Wilayah Gresik dan sekitarnya. Tapi ternyata penggunaan nama Gresik sekarang hanya menjadi merek saja. Kebetulan saya mendapat informasi dari teman saya di kampus yang merupakan anak dari karyawan PT Semen Gresik dan dia berasal dari kota Gresik pula. Dia mengatakan bahwa sekarang pabriknya pindah soalnya kapur di Gresik sudah habis. Di Gresik hanya tersisa kantornya dan ayahnya sedang dalam proses pindah kantor ke Tuban. Saya bertanya,”Loh, berarti namanya ganti dong, jadi Semen Tuban”. Ternyata tidak. Hanya tambangnya dan pabrik barunya yang pindah, nama dan segala yang berhubungan dengan administrasinya tetap.

Beberapa tahun kemudian saya berada di Rembang untuk merantau pertama kali seumur hidup saya. Dan di sini topik bahasan yang menarik ternyata adalah soal ekspansi semen Gresik. Di beberapa wilayah Kabupaten Rembang ternyata sangat potensial akan kandungan kapurnya, utamanya di daerah selatan Rembang, tepatnya di Pegunungan Kapur Kendeng. Potensi yang dimiliki pegunungan kenceng ini disinyalir lebih besar daripada yang ada di Tuban. Itulah mengapa Semen Gresik sangat tertarik untuk mengeksploitasi potensi tersebut. 

Pada awalnya Pro-Kontra masih berupa demonstrasi dan aksi di jalan. Ternyata lama-kelamaan Pro-Kontra semakin meruncing. Dan saat ini semakin memanas setelah adanya peletakan batu pertama pendirian tambang Semen Gresik di sekitar Desa Mantingan Kecamatan Bulu dan Desa Kajar Kecamatan Gunem. Puluhan bahkan ratusan warga yang sebagian besar adalah perempuan menduduki lahan yang akan dijadikan tambang kapur bahan baku semen. Aparat pun berjaga-jaga dari pihak Polri hingga TNI turun tangan. Aksi tersebut merupakan puncak dari rangkaian aksi-aksi sebelumnya. Peserta aksi merupakan warga dari daerah ring 1 tambang semen itu. Mereka memprotes adanya tambang semen karena akan berdampak buruk bagi warga sekitar.
Namun sepertinya usaha mereka belum membuahkan hasil. Buktinya pemerintah Kabupaten Rembang tetap melanjutkan pembukaan tambang semen tersebut dengan melakukan tasyakuran peletakan batu pertama. Entah akan membuahkan hasil ataupun tidak, kita lihat saja.
Sebenarnya Pro-Kontra Ekspansi Semen Gresik ini bukan hanya di Rembang. Dan ada dua contoh yang berbeda dari dua wilayah tentang Ekspansi Semen Gresik ini. 
Pertama Tuban. Disini menjadi contoh Ekspansi Semen Gresik yang berhasil. Tuban kini menjadi kota Industri semen yang sangat besar. Pabrik-pabrik besar didirikan disana untuk bisa mengeksploitasi kapur disana. Pelabuhan-pelabuhan tempat bersandar kapal pengangkut semen hasil produksi juga didirikan. Memang, ternyata daerah penghasil kapur bahan baku semen sasaran ekspansi Semen Gresik adalah daerah yang memiliki akses transportasi laut yang mudah karena sarana distribusi utama mereka adalah kapal laut. Ambil contoh Gresik, Tuban, Rembang dan contoh saya selanjutnya nanti, Pati. Kembali ke Tuban. Ternyata dulunya sebelum berhasil "menduduki" Tuban, juga muncul Pro-Kontra di dalam oenerimaan kehadiran Semen Gresik itu. Tapi berhubung saya tidak memiliki referensi yang memadai maka saya tidak bisa menjelaskan bentuk-bentuknya. Akhirnya pun pabrik dan tambang semen Gresik pun berdiri. Efeknya? Sepertinya Kabupaten Tuban menjadi semakin maju karena terbantu adanya Semen Gresik. Pembangunan infrastruktur, pembangunan ekonomi serta kesejahteraan warga sepertinya mulai berubah ke arah lebih baik. Entah sumber ini valid atau tidak karena ini berdasarkan pemantauan dan pengetahuan saya semata. Informasi ini saya dapat dari kawan yang asli dari Tuban. Namun ternyata memang setiap hal positif ada negatifnya. Selalu akan seperti itu. Dampak negatif itu dirasakan oleh warga sekitar yang tidak mendapat dampak akan peningkatan kesejahteraan. Malah mendapat dampak kekurangan air dan debu yang selalu mengganggu. Tapi katanya sih sudah ditangani dengan adanya CSR (Corporate Social Responsibility) dari Semen Gresik. Semoga saja.
Selanjutnya contoh kedua. Kabupaten Pati. 
Kota Mina Tani yang terkenal dengan kota Kacang karena dua Pabrik Raksasa kacang ada di kota ini. Disini ekspansi Semen Gresik mengalami kegagalan. Tidak terjadi kesepakatan dengan pemerintah Kabupaten Pati dengan Semen Gresik. Memang aksi yang dilakukan di Pati sangat sporadis dan kuat. Berbagai bentuk penolakan dilakukan, mulai dari poster hingga membuat film dokumenter. Dan menurut pengamatan saya, Pemerintah Pati berhasil diadvokasi untuk menolak kehadiran tambang semen. Keberhasilan ekspansi di Tuban dan kegagalan di Pati inilah yang menjadi tanda tanya besar di benak saya. Apakah bedanya Tuban, Rembang dan Pati?
Secara geografis dan sosio kultural, perbedaan ketiganya sangatlah tipis. Ketiganya bertetangga dekat. Sama-sama wilayah Pantai Utara Jawa. Masyarakatnya pun tidak berbeda. Dan jawabannya mungkin adalah Pemerintahnya. Ya, kunci dari semuanya ada di tangan penguasa masing-masing. Saya disini bukan memojokkan pemerintah manapun. Karena saya yakin tiap pemerintah punya pertimbangan masing-masing untuk menerima atau menolak sesuatu hal yang baru. Termasuk ekspansi Semen Gresik ini.
Terlepas dari itu semua, sekali lagi setiap hal ada manfaat dan mudhorotnya. Ada kurang lebihnya. Ada dampak negatif dan positifnya. Pihak yang pro dengan kehadiran semen Gresik akan kukuh berargumen bahwa dampak positif adanya semen lebih banyak. Dan sebaliknya, pihak yang kontra akan selalu menyatakan jauh lebih besar dampak negatifnya. Tergantung perspektif mana yang kita lihat.
Yang jelas walaupun saya bukan warga Rembang, saya sudah hampir dua tahun disini, dan merasakan apa yang dirasakan warga yang menolak disana. Rasa itu pula yang memicu munculnya aksi dukungan dari berbagai daerah, mulai dari Mahasiswa di Semarang, di Purwokerto dan bahkan dari seluruh penjuru Indonesia. Semoga segera ada penyelesaian persoalan Pro-Kontra Semen Gresik ini dengan Win-win Solution.










Rabu, 18 Juni 2014

Dollysisasi Berakhir, Akhir atau Awal Masalah?

Beberapa tahun lalu, saat saya masih berstatus mahasiswa, diskusi panas tentang dolly muncul dalam forum sebuah mata kuliah di kampus saya. Mata kuliahnya adalah Kesehatan Reproduksi. Saat itu muncul sebuah pertanyaan, "Bagaimana pendapatmu soal Lokalisasi Dolly? Setuju atau tidak?"
Walhasil seisi ruang kelas waktu itu riuh karena masing masing mulai berdiskusi dengan yang lain. Dan seperti biasanya, ada dua kubu yang muncul. Pro dan kontra.
Dimanakah posisi saya saat itu?
Saya sejak mahasiswa, dan mungkin hingga sekarang, memang seorang yang idealis. Namun bukan idealis kritis ofensif (baca:suka bertanya dan menjatuhkan orang lain), tapi idealis kritis defensif diplomatis problem solver(baca: suka menjawab dan memberikan solusi berupa penjelasan). Jawaban saya pun sangat win win solution. saya ingat sekali jawaban saya waktu itu.
"Sebagai seorang Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, saya mendukung adanya Dolly karena dapat melokalisir penyebaran HIV/AIDS serta memudahkan dalam pemantauan oleh tenaga kesehatan. Sedangkan sebagai seorang muslim, saya tidak setuju karena jelas dalam Islam zina adalah dosa besar dan dolly seperti melegalkan perzinaan."
Dan waktu itu diskusi tidak menghasilkan kesimpulan karena kami hanya berdiskusi dalam sebuah mata kuliah. Saya pun waktu itu berpikir tidak mungkin lokalisasi terbesar se-Asia tenggara dapat ditutup karena bisa jadi menjadi salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar. Tapi hari ini sebuah keajaiban terjadi. Seorang wanita tangguh berani menutup Dolly!
Dia adalah Tri Risma Harini atau biasa disapa Bu Risma, Walikota Surabaya.
Sangat ekstrim. Luar biasa dan amazing. Saya disini tidak akan membahas tentang Bu Risma nya karena media sudah sering memberitakan beliau. Saya hanya ingin mengulas dampak posutif dan negatif penutupan dolly ini dan tentunya dengan saran atau harapan saya pribadi tentang penutupan dolly.

Pertama saya sampaikan kekurangan penutupan dolly di mata saya.
1. Penutupan dolly akan berakibat semakin berkembangnya penyakit HIV/AIDS. Seperti yang saya sampaikan di awal, istilah lokalisasi digunakan karena merupakan tempat melokalisir kegiatan prostitusi yang notabene.merupakan sarang penyakit HIV AIDS. Dengan adanya lokalisasi maka siklus penyebaran penyakit HIV/AIDS akan mudah terdeteksi karena sudah jelas di situlah lokasi utamanya. Petugas kesehatan pun akan lebih mudah melakukan monitoring serta sosialisasi secara rutin. Bukti terkuat adalah di Jember. Sebelum lokalisasi Puger ditutup, Jember menduduki peringkat papan tengah jumlah HIV/AIDS. Namun setelah ditutup pada tahun 2009, peringkatnya merangsek menjadi nomor 3 se Jawa Timur. Apakah kekurangan ini tidak dapat diatasi? Solusinya? Menurut saya, setelah ditutupnya dolly, mantan PSK didata dan tetap dipantau kegiatan dan posisinya sehingga dapat ditekan kemungkinan adanya penularan yang semakin menyebar. Dan segala upaya ini seharusnya dilakukan jauh- jauh hari sebelum hari-H penutupan dilakukan.
2. Lokalisasi Dolly merupakan sumber pendapatan bagi banyak pihak. Tidak hanya PSK, germo atau mucikari saja, namun tukang parkir hingga penjual makanan pun mendapatkan rejeki dari adanya Dolly. Ditutupnya dolly akan mematikan pendapatan mereka. Untuk yang satu ini bukan perkara mudah. Hal ini pulalah yang membuat Bu Risma mengatakan "Saya sudah ijin keluarga. Jika saya mati, ikhlaskan". Pihak yang kontra dengan penutupan dolly ini jelas merasa sumber pendapatan mereka akan hilang jika benar-benar dolly akan ditutup. Untuk yang satu ini, solusinya sudah mulai diterapkan jauh jauh hari, seperti pelatihan usaha bagi PSK maupun mucikari dan relokasi bagi pedagang atau yang bersangkutan lainnya. Yang berat adalah pohak yang punya kepentingan lebih dari itu, yaitu para makelar makelar besar yang menjadi musuh utama penutupan dolly itu.
3. Akan muncul tempat prostitusi yang lebih sporadis dan dalam lingkup lebih kecil. Ya, ibarat pepatah " Mati satu tumbuh seribu", itulah yang akan terjadi jika dolly ditutup. Tidak dapat dipungkiri bahwa prostitusi muncul karena ada demand yang cukup besar sehingga dibutuhkan supply cukup besar pula. Selain itu faktor "kebiasaan" membuat beberapa PSK merasa tidak ada pekerjaan lain yang pas untuk dia. Kehidupan mewah, kemudahan mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat dan lingkungan yang menuntut hal tersebut membuat mereka memilih inisiatif untuk membuka "lapak" di tempat lain dengan pelangggan yang mungkin sama. Solusinya adalah dilakukan pemantauan ketat kepada mantan PSK dan dilacak kegiatan pasca penutupan dolly tersebut.

Lalu apa kelebihan penutupan dolly?
Sebenarnya tanpa saya jabarkan semua orang pasti tahu tentang manfaat penutupan dolly, yaitu menghentikan legalisasi prostitusi di Indonesia yang bertentangan dengan ajaran agama manapun. Namun ada beberapa kelebihan yang mungkin perlu saya sampaikan, antara lain.
1. Memutuskan mata rantai kejam prostitusi. Prostitusi itu sangat kejam. Memang para PSK dijanjikan dengan bayaran melimpah dengan pekerjaannya. Namun dibalik itu, ada pihak yang jauh diuntungkan. Germo atau mucikari. Mereka mendapatkan hasil jauh lebih banyak dari pelaku na sendiri. Dan sistem yang mereka berlakukan sangat kejam. Tiap germo punya cara masing masing dalam merekrut maupun mengelola para PSK nya. Dan tidak ada yang manusiawi. PSK baru didapatkan salah satunya dengan trafficking. Dengan ditutupnya dolly, jelas akan memutuskan mata rantai itu.
2. Merubah image Surabaya. Hal ini jelas sangat signifikan. Karena dolly identik dengan Surabaya dan Surabaya identik dengan dolly. Sering ada guyonan bahwa Universitas Airlangga memiliki 4 kampus, yaitu kampus A, B,C,D. Padahal sejatinya hanya sampai C. Untuk kampus D adalah kampus Dolly.. dengan ditutupnya dolly maka image Surabaya sebagai tempat prostitusi terbesar se Asia Tenggara akan hilang.
Masih banyak kekurangan ataupun kelebihan dari penutupan Dolly. Hal itulah yang memantik adanya pro- kontra yang bahkan terjadi antara Walikota dengan Wakil walikotanya. Yang jelas, menurut hemat saya, segala sesuatu yang lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya harus dihindari. Apalagi menyangkut dengan kepentingan orang banyak. 

Tapi jangan pernah menghitung manfaat dan mudhorot secara matematis, karena sangat tidak relevan. Banyak disini bukan kuantitas, tapi kualitas yang lebih substantif. Jumlah kekurangan dan kelebihan yang saya sampaikan diatas juga bukan tolak ukur yang pasti, karena sekali lagi ini tidak bersifat matematis. Jadi kesimpulannya, apakah saya mendukung atau menolak penutupan Dolly? 
Anda yang dapat menyimpulkannya..

Kamis, 27 Februari 2014

Acara Televisi = Sampah?

Televisi merupakan media yang sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan penikmat televisi ini menjangkau dari kalangan menengah ke atas hingga kalangan ke bawah. Tidak peduli jaman gadget yang semakin canggih, menikmati televisi memang terasa lebih nyaman dibanding yang lain.
Seharusnya hal inilah yang diperhatikan pemerintah sehingga pemerintah mampu menyaring informasi yang ada sehingga masyarakat mendapatkan siaran televisi yang bermutu dan sesuai kebutuhan. Namun yang terjadi saat ini adalah sebaliknya.
Televisi sangat berubah dari fungsi awalnya yaitu sebagai media elektronik yang memberikan informasi mendidik, menjadi sebuah sarana pembodohan bangsa..
Acara tidak jelas, tanpa tujuan, berisi guyonan yang garing semakin merajalela. Dan mirisnya, semua itu laris ditonton dan mendapat rating tinggi.
Entah apa alasan eksisnya acara seperti itu. Harusnya jika memang tidak ada penontonnya, pasti acara tersebut akan mati dengan sendirinya.
Tapi tidak seperti itu. Ternyata penonton Indonesia menyukainya. Saya sendiri heran. Apa yang ditonton dan apa bagusnya?
Tapi keheranan saya tersebut hanyanbisa menjadi tanya saja karena hingga sampai sekarang tetap tidak bergeming dan bahkan semakin menjamur acara sampah itu.
Sepertinya pemerintah harus segera bertindak. Karena jika dibiarkan, lama kelamaan masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Anak anak.sebagai penerus bangsa dijejali tontonan sampah yang tidak bermutu apa jadinya??

Sempurna (Sekuel Kedua Antologi Cerpen Sang Pemburu) Part 1



Joni, salah satu anak dari pasangan pengusaha property dan media cetak ternama di Indonesia, memiliki cita-cita untuk bisa sukses seperti kedua orang tuanya kelak. Serba mewah dan berkecukupan merupakan pandangan yang tidak akan jauh-jauh terlihat dari kehidupan Joni sehari-hari. Duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Atas (SMA) Penabur, Jakarta serta diiringi sejumlah prestasi yang sudah ia raih merupakan hal yang biasa bagi dirinya. Sempat berujar ingin melanjutkan studinya sebagai musisi di Sidney dan ingin menciptakan pasar bisnis di bidang musik setelah kembali ke Indonesia kelak, cita-cita tersebut hampir saja ia bubarkan ketika seorang teman sekolahnya mengejek dia karean semua prestasinya didapat karena kesuksesan orang tua Joni.

“He Jon, lu tu beruntung banget punya bokap nyokap yang kaya dan sukses gitu.” Kata teman sekolah Joni yang bertemu Joni saat akan pulang sekolah.

“Enak aja, gue gini karena usaha gue ndiri. Lah lo udah orang tua dokter tapi otak lo gak lebih dari otak teri.” Sahut Joni yang tidak terima karena merasa dihina oleh temannya sendiri.

“Emang lo pernah ngerasain gimana kerasnya dunia luar kagak? Gue meskipun bodo gini, udah bisa cari duit sendiri men. Bokap nyokap gue terlalu sibuk buat merhatiin anaknya. Sampe-sampe anaknya jadi tukang jual-beli hp, mereka kagak bakal tau.” Sahut kembali si Rendra temen si Joni.

Seakan tersambar kilat, Joni pun hanya bisa diam dan masuk ke dalam mobil jemputannya untuk kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dia memikirkan apa yang dikatakan oleh Rendra. Sesampainya di rumah, seperti biasa tidak ada orang tuanya yang menyambut kepulangan Joni. Mereka selalu pulang larut malam dan berangkat pagi buta. Saat itu pula Joni merasa bahwa perkataan Rendra ada benarnya. Dia tanpa berpikir panjang dan memutuskan untuk keluar dari rumah dengan membawa gitar kesayangannya yang mungkin nanti akan menemaninya selama perjalanan di luar rumah.

Berbekal baju yang ia pakai dan gitar di tangan, Joni pun mulai berjalan menyusuri kota Jakarta. Ia berjalan dari rumahnya yang berada di wilayah Kemayoran hingga tidak terasa sudah hampir sampai di Blok M. Ia merasa lelah dan uang saku miliknya hanya tinggal 20 ribu di celana pendeknya yang mulai kusam karena berjalan hampir seharian.

“Kalo ini gue pake buat beli makan atau minum sekarang, besok gue bakal makan atau minum apa ya. Tapi ya udahlah daripada kelaperan, mending gue beliin aja. Besok gue bakal mulai petualangan cari duit. Selama ada gitar ini, gue pasti bisa makan.” Gumam Joni dengan nada optimis.

Dia segera mampir di warung makan di pinggir jalan raya. Dia memesan nasi goreng dan segelas es teh. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menghabiskan keduanya. Karena merasa lelah dan sudah kenyang, Joni mulai mengantuk dan bingung akan tidur dimana setelah ini. Apalagi hari sudah mulai larut malam sekitar pukul sebelas malam.

“Gue tidur sini aja ah, toh banyak juga yang tidur sini” Gumam Joni sambil melihat para pengamen dan gelandangan yang tidur di emperan toko.

Sepanjang malam ia merasakan hawa dingin di luar sambil berpikir dan berbicara pada dirinya sendiri, “kira-kira papa mama nyariin gue gak ya? Ah bodo, gue bakal kasih pelajaran ke mereka kalo mereka kudu lebih merhatiin keluarga sambi gue buktiin kalo gue bisa cari duit dengan keringat gue sendiri.”

Keesokan harinya, ia mulai melangkah kembali. Berjalan menyusuri kota Jakarta. “kayaknya gue ngamen aja deh, gue bakal tunjukkin kalo musisi juga bisa ngamen.” Ujar Joni sambil berjalan selangkah demi selangkah.

Dia mulai masuk kopaja dan menyanyikan lagu jazz favoritnya yang biasa ia latih sehari-hari. Mulai lagu dari George Benson, Frank Sinatra, Nat King Cole, hingga Michael Buble pun ia nyanyikan sepanjang ia naik turun kopaja.

“Susah juga cari duit sendiri. Seharian ngamen cuma dapet segini aja.” Gumam Joni dalam hati. Tapi hingga hari kedua ia pergi dari rumah, Joni merasa tidak ada kabar kehilangan dari orang tuanya yang mencarinya. Paman Joni yang seorang Kapolda pasti akan mengerahkan petugasnya untuk mencari Joni jika orang tua Joni tahu kalau dia sudah tidak di rumah dalam dua hari ini.
~Bersambung~