Selasa, 23 September 2014

Mengantar Mimpi ke Jogja

Dulu, saat setelah lulus dari dunia perkuliahan, saya sangat bersemangat untuk bisa melanjutkan studi ke jenjang S2. Cita-cita saya dan juga keinginan ayah saya adalah menjadi seorang dosen. Dosen-dosen saya banyak yang mendukung saya dan menyarankan saya untuk lanjut di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Saya pun memantapkan keinginan saya untuk belajar ke sana. Namun keinginan saya tersebut harus tertunda. Tapi cerita ini bukan tentang saya. Tapi tentang seorang anak desa yang mengejar mimpi ke Jogja. Kuliah di Universitas Gajah Mada. Kampus yang sama dengan yang saya idamkan untuk S2.
Dia adalah Lina. Anak seorang kader di desa Labuhan Kidul. Awalnya saya tidak kenal dengan Lina karena memang saya tidak pernah bertemu dengannya. Dia mondok sehingga tidak di rumah saat saya berkunjung ke rumah Ibunya. Kebiasaan saya memang di samping bekerja, saya sekaligus bersilaturahmi ke rumah kader-kader. Jadi setiap berkunjung ke rumah kader, tidak cukup satu-dua jam saja di sana. Dan dari sanalah banyak cerita yang bisa saya dapatkan.
Suatu hari saya mengambil tugas ke rumah kader tersebut. Belum saya mematikan motor saya, kader tersebut berkata, “Om Tomy, wes tak arep-arep. Aku arep jauk saran.” (Om Tomy, sudah saya tunggu. Saya mau minta saran,-red). Saya kaget. Ada apa kok sampai sebegitu pentingnya diri saya. Ternyata beliau bercerita bahwa anaknya sudah kelas 3 MA dan ingin melanjutkan kuliah. Dan anaknya mengatakan tentang beasiswa Bidik Misi yang akan dia ikuti. Kader saya tersebut bertanya, “Bidik Misi kui opo Om?” (Bidik Misi Itu apa Om?-red).
Saya pun menjelaskan semampu saya. Kebetulan dulu pada saat kuliah dulu saya dekat dengan pihak kemahasiswaan kampus sehingga saya kurang lebih paham soal beasiswa. Salah satunya Bidik Misi. Kader saya dan suaminya terlihat sangat antusias mendengarkan saya “berceramah” soal Bidik Misi. Saya paham. Mereka memiliki tingkat pendidikan rendah dan informasi tidak bisa mereka jangkau karena mereka telah sibuk dengan mencari nafkah.
Saya sendiri sangat bersemangat ada seorang anak perempuan desa yang akan melanjutkan ke bangku kuliah. Maklum, di desa yang saya dampingi tersebut, tingkat pendidikan rata-rata lulusan SMP. Jarang yang menempuh S1. Apalagi perempuan. Mayoritas Lulus SMP/SMA sudah dinikahkan. Ini sangat berbeda. Di ujung saya menjelaskan, sang bapak berkata, “Gak salah aku jauk saran Nang Om Tomy. Maturnuwun Om.” (Tidak salah aku meminta saran ke Om Tomy. Terima Kasih Om,-red).
Setelah itu saya sudah lupa tentang hal itu karena kesibukan saya.  Dan memang sudah lama kader saya tidak memberikan kabar tentang anaknya. Entah beberapa Minggu atau bulan kemudian saya ke sana. Sekali lagi, kedatangan saya disambut berbeda. Bahkan kali ini jauh lebih menghebohkan. “Om Tomy. Alhamdulillah. Koq yo pas sampean mrene. Iki aku lagi bingung. Bapake yo bingung. Lina arep nangis Om Tomy.” (Om Tomy, Alhamdulillah. Koq pas sekali kamu ke sini. Saya bingung. Bapaknya juga bingung. Lina sudah ingin menangis,-red). Saya yang datang sudah sore menjelang malam itu pun ikut bingung. Ternyata ini soal beasiswa Lina. Akhirnya mereka menceritakan panjang lebar. Mendengarnya, saya yang berencana hanya mampir lima menit untuk mengambil tugas kemudian pulang karena sudah menjelang magrib pun mengurungkan niat saya itu.
Lina telah diterima menjadi Mahasiswa S1 Universitas Gajah Mada melalui jalur Beasiswa Bidik Misi. Alhamdulillah. Dan besok adalah deadline pengiriman berkas daftar ulangnya secara online. Lina diantar oleh bapaknya pergi ke pusat kecamatan untuk melakukan registrasi di warnet. Tapi usaha mereka sia-sia karena flashdisk Lina terserang virus yang ada di komputer warnet tersebut. Padahal semua berkas Lina ada disana. Itulah yang membuat Lina ingin menangis. Orang tuanya yang tidak paham tentang teknologi pun semakin bingung.
Saya terdiam sejenak kemudian mencoba menenangkan mereka dengan berkata bahwa saya akan coba bantu. Saya keluarkan laptop kesayangan dari tas. Lalu saya lihat sinyal smartphone saya. Lumayan walaupun tidak full. Saya hidupkan hotspot dari Smartphone agar laptop bisa saya gunakan untuk berselancar di internet. Saya coba mengerahkan semua kemampuan saya. Saya berkutat dengan laptop saya dengan dihiasi wajah harap-harap cemas dari Lina, Ibunya dan Bapaknya. Mereka berkali kali mengucapkan terima kasih kepada saya. Makanan dan minuman disiapkan di sebelah laptop saya. Bahkan saat saya mengusap keringat yang mengucur, sang bapak keluar untuk meminjam kipas angin kepada tetangga karena mereka tidak memilikinya. Saya sampai merasa tidak enak. Tapi saya tetap berusaha konsentrasi.
Malam pun semakin larut. Semua data sudah ter-input dengan baik. Saya pastikan semuanya kemudian saya berpamitan. Sang Ibu berkata, “Maturnuwun ingkang kathah loh Om Tomy. Aku ora ngerti nak mau Om Tomy ora mrene. Pitulungan Gusti Allah teko lewat sampean.” (Terima Kasih banyak Om Tomy. Aku tidak tahu kalau kamu tidak ke sini. Pertolongan Allah datang lewat kamu,-red). Sang bapak juga menimpali, “Kulo mboten saget mbales bantuane Om Tomy. Kersane Gusti Allah hengkang mbales.” (Saya tidak bisa membalas bantuanmu Om Tomy. Biarlah Allah yang membalasnya,-red). Saya hanya bisa tersenyum dan mengamininya.
Beberapa hari kemudian saya mendapatkan kabar Lina sudah mulai melaksanakan OSPEK di Pendidikan Fisika UGM. Kader saya sangat antusias menceritakan tentang anaknya yang sangat dia banggakan itu. Saya tersenyum dan merasa sangat bangga.
Dan dalam hati saya berkata, “Lina saja bisa meraih mimpinya kuliah di UGM. Saya harus bisa!”

“Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, hanya terkadang kita yang kurang gigih untuk mencoba meraihnya.”

Rembang, 23 September 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar