Beberapa waktu lalu, saya sempat menulis tentang sosok Afia.
Seorang anak dari keluarga kurang mampu yang mengalami kecelakaan cukup hebat
sehingga membuat dia tidak sadarkan diri hingga 3 bulan dan setelah sadar dia
mengalami keterbatasan yaitu kelumpuhan fisik. Dan saat itu pula saya sampaikan
bahwa Afia tetap menunjukkan keceriaanya di tengah keterbatasannya.
Beberapa saat setelah saya menulis artikel tersebut, saya
mendapatkan kabar bahwa Afia sudah mulai bersekolah. Saya sangat senang
mendengarnya. Saya sempatkan mengunjungi Afia dan rumahnya. Ternyata Afia
sekolah dengan cara digendong oleh ibunya. Padahal ibunya sudah cukup renta
untuk menggendongnya. Namun pancaran semangatnya mampu mereduksi berat tubuh
Afia yang beliau gendong.
Sekali lagi, setiap saya melihat kondisi rumahnya, saya
sangatlah miris. Belum bisa dikatakan rumah. Hanya sepetak tanah dengan kamar,
dapur dan pancuran air. Dari situ saya tergerak untuk bisa membantunya. Saya
coba ajukan bantuan ke tempat saya bekerja. Karena memang inilah bidang tempat
saya bekerja.
Ternyata respons juga cukup baik dari pihak lembaga. Afia
akan mendapat bantuan berupa toilet dan jamban di rumahnya agar rumahnya lebih
layak dan sehat. Saya pun sangat bersemangat untuk membantunya. Saya berencana
untuk mensurvei rumah, mengukur tempat dan sebagainya. Saya pun menyampaikan
rencana tersebut kepada Ibu Afia. Saat semangat saya menggebu-gebu, tiba-tiba
harus putus di tengah jalan. Ternyata bantuan kepada Afia gagal, oleh karena
persoalan administratif dan birokratis. Seperti biasa persoalan klasik di
Indonesia. Saya sangat kecewa. Saya bingung bagaimana cara saya menyampaikan
batalnya bantuan ini kepada Ibu Afia.
Akhirnya saya beranikan diri untuk menyampaikannya. Dan
jawaban dari Ibu Afia sangat tidak saya duga. “Mas, kulot mboten nolak didamelaken
WC. Kulo remen mas.Tapi griyo kulo niki sanes dibangun teng tanah kulo. Kulo
meniko ngampung dateng derek mas. Kulo Mboten wantun. Mangke Wonten Nopo-nopo.”
(Mas, saya sebenarnya tidak menolak dibangunkan WC. Saya
senang mas. Tapi Rumah saya ini tidak dibangun di tanah saya sendiri. Saya ini menumpang di saudara saya. Saya tidak berani.
Takut ada apa-apa,-red)
Entah apa yang saya rasakan saat mendengarnya. Lega karena
kebatalan bantuan ini tidak mengecewakan beliau. Juga sedih mengetahui bahwa
sebegitu susahnya beliau dan Afia. Saya pun pulang dengan membawa rasa yang
bercampur aduk. Dan keinginan saya untuk membantu Afia semakin besar. Tapi
dalam bentuk apa? Saya ingin membantu tapi takut salah dan malah menyinggung
mereka.
Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Momen
tersebut saya manfaatkan untuk membantu Afia. Saya sisihkan sebagian uang saya
dengan nilai yang mungkin tidak bernilai menurut orang lain. Tapi itulah
kemampuan saya. Saya tidak sampaikan langsung, tapi saya titipkan kepada teman
saya yang asli warga sana. Saya pun cukup merasa lega.
Waktu berlalu. Saya disibukkan dengan aktivitas saya. Hingga
suatu hari seorang ibu menyapa saat saya melintas di desa. “Mas Tomy,
maturnuwun nggeh.” (Mas Tomy, Terimakasih.,-red). Ternyata beliau adalah Ibu
Afia yang sedang menunggu Afia pulang dari sekolah. Saya pun memakirkan motor dan
bersalaman dengan beliau. Tak lama kemudian Afia datang. Ternyata Afia sudah
pulih total. Dia sudah bisa berjalan sendiri, bisa sekolah seperti biasa.
Alhamdulillah.
“Monggo mampir, mas.” (Silahkan mampir mas,-Red). Sebenarnya
tawaran itu tidak ingin saya tolak. Namun agenda pada hari itu sangat padat
sehingga terpaksa saya menolaknya. Kemudian kami pun berpisah. Sepanjang jalan
saya tersenyum sendiri. Entah mengapa, begitu bahagianya saya melihat Afia
sudah bisa berjalan, bisa bersekolah dan tetap ceria. Senyum Afia akhirnya
mengembang lagi diiringi senyum dari Ibunya yang sangat menyayanginya.
Raih cita-citamu, Afia! Senyumanmu dan Ibumu akan terus
mengiringi langkahmu.
“Sesuatu yang kadang tak bernilai bagi kita, akan menjadi
begitu bernilai dan membekas di hati orang lain.”
Rembang, 20 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar