Senin, 05 Agustus 2013

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 2

Sreeeng..sreeng...ctakk ctakk..

Suara nasi yang sedang digoreng menggoda telinga. Apalagi baunya. Akupun segera siapkan piring. Nasi datang langsung kusikat. Ibuku memandangku sambil tersenyum.
Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Aku anak tunggal dan ayahku meninggal waktu aku masih SD. Karena serangan jantung.

“Bu, kula mangkat rumiyin”.

Kucium tangan ibuku yang keriput.

“Assalamualaikum”

Setelah agak lama baru terdengar.

“wa’alaikum salam”.

Motor kugerakkan pelan. Masih belum siang, jam delapan pagi. Matahari sudah cukup terik, meskipun belum terlalu menyengat. Yang seperti ini masih mengandung sinar yang menyehatkan karena dapat mengubah pro-vitamin D menjadi Vitamin D dalam tubuh kita. Begini-begini aku lulusan SMAN 1 Surakarta lho! Sekolah terfavorit di kota ini. Jadi masih lekat di ingatan tentang pelajaran itu.
Di SPBU sudah ada Aan dan Bimo, juga beberapa pegawai lain. Hari ini hari sekolah, biasanya SPBU ramai.

“An, rame opo ora?”
 “Lumayan , li. Akeh cah sekolah ngisi” sahut Aan sambil mengisi bensin di sebuah angkot.

“Ooo, yo wis”

Aku menaruh tas di kantor dan siap berjuang dalam tugas.
Waktu matahari pas di ubun-ubun, sebuah mobil Taft hitam berhenti.

“Sepuluh liter,Mas” ucap pengemudinya.

Kuisi bensin dalam tangki. Saat itu kupandang pemilik mobil. Memakai jaket almamater bertuliskan UNS. Universitas Negeri Solo. Aku mulai teringat. Saat aku lulus SMA, aku sudah berencana kuliah, minimal di kampus yang sama dengan anak itu. Maklum, aku selalu peringkat tiga besar. Puncaknya di dua semester terakhir aku menjadi juara kelas. Nilai UAN-ku pun termasuk lima besar di sekolahku. Aku ingin mencoba PMDK di Teknik Hasil Pertanian IPB, juga ikut SPMB Teknik Elektro ITB. Waktu itu rasanya dekat sekali dengan kenyataan, melihat prestasi dan kemampuanku. Tapi aku lupa, aku ini siapa? Anak janda yang bekerja sebagai tukang jahit.  Jangankan buat kuliah di universitas ternama, untuk bertahan hidup saja sudah mati-matian. Sebenarnya, aku sedikit marah dengan keadaanku sendiri. Teman-temanku yang kemampuannya di bawahku bisa kuliah di UI, ITB, UGM, IPB, ITS dan kampus favorit lainnya. Tapi aku, yang juara kelas, Cuma jadi tukang isi bensin.. Dan sekarang....

“Mas, berapa?” kata anak pemilik mobil membuyarkan lamunanku.
“Ngelamun ya mas? Jangan banyak ngelamun mas. Ntar dimasukin lo?” kata anak itu lagi mengajakku bercanda.
“Hhehe.emang dimasukin apa?.”
“Ya roh halus gitu, Mas” jelasnya
“Tapi kalo roh cewek cantik gak apa-apa. Apalagi mau jadi pacarku, ya nggak?” celetukku asal.
“Biar cantik kalo hantu, mas. Emoh aku. Hahaha..Mas ini ada-ada aja. O iya berapa mas? Sampai lupa.”
“Hehe, iyo lali. Empat puluh lima mas.”
Ini, mas. Makasih ya”
“Sama-sama”
Ah sudah waktunya sholat Akupun memasang pembatas di pompaku agar tak ada kendaraan yang mengisi disini. Tutup sementara. Aku lalu menuju musholla. Kuambil air widhu..kulupakan sejenak kepenatan hari ini. Kuluapkan semua pada Illahi..

-Bersambung- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar