Selasa, 06 Agustus 2013

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 3

Minggu pagi yang indah. Aku baru turun dari masjid usai mengikuti kuliah subuh yang hanya ada di hari Minggu. Hari ini aku libur. Daripada bosan, aku memutuskan untuk lari pagi. Kuambil celana Training dan kaos oblong putih kesayanganku, yang bertuliskan “Solo, The Spirit of Java”.

Aku berangkat. Sepanjang perjalanan, kota Solo tampak ramai. Biasa lah, hari Minggu. Apalagi di Pasar Klewer. Wiih, padat banget. Semua orang berdesakan untuk membeli barang yang mereka inginkan. Kutinggalkan pasar yang menjadi trademark kotaku ini. Sepanjang jalan, di kanan dan kiriku yang terlihat hanya toko. Dari toko kelontong sampai toko lontong. Dari yang besar seperti supermarket sampai warung kecil-kecilan. Dagangannya pun bermacam-macam.

Tak terasa di depanku sudah terlihat alun-alun kota. Seperti alun-alun lain, di alun-alun kota Solo juga berdampungan dengan Masjid Jami’. Selain itu di sini juga dekat dengan kebanggaan kota kami, Keraton Surakarta. Walaupun aku sudah berusaha berangkat awal, tapi ternyata di sini sudah ramai luar biasa. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga hari Minggu. Aku pun mulai joging di sini.

Awalnya sih semangat. Namun karena fisikku bukan seorang atlet lari nasional, maka hanya sampai 2 putaran saja aku mengurangi kecepatan dan akhirnya hanya berjalan saja. Setelah berjalan 10 putaran, akhirnya tenagaku sudah habis. Aku pun mencari tempat istirahat. Beruntung ada bangku taman yang kosong. Langsung saja kurebahkan punggungku dan kuluruskan kakiku. Keringat mengucur deras. Es jeruk segar pasti pas nih. Kurogoh saku trainingku. Kosong. Aku lupa untuk bawa uang tadi. Alamat kekeringan ini. Sial banget...

Tiba-tiba segelas es jeruk menggoda ada di depanku. Wah, datang dari surga. Kupandang yang membawa. Wanita cantik, manis, kulit kuning langsat, dan rambut panjang terurai. Wah benar-benar datang dari surga, nih yang bawa bidadari. Siapa ya kok gak pernah kenal?

“Oh iya. Mas, aku lupa. Mas nggak kenal aku, kan? Aku Sabrina. Panggil aja Nana. Aku tahu mas waktu ngisi bensin. Waktu itu mobilku kehabisan bensin sebelum sampai di SPBU. Lalu mas lari ke mobilku dan membawa satu jerigen berisi bensin.” Jelas dia panjang lebar.

“Ooooo, waktu itu ya. Aku ingat. Tapi yang aku lihat Cuma bapak-bapak. Kok kamu nggak ada?”

Dia mengambil posisi duduk di sebelahku. Dekat. Hampir nyentuh. Kalo dihitung-hitunng kira-kira hanya berjarak 1 mm saja. Wuiihh. Merinding. Maklum, aku nggak pernah sedekat ini sama cewek. Apalagi cewek secantik ini.

“Mas, mas!” sergahnya sambil mengayunkan tangannya ke mukaku. Seketika lamunanku buyar.
“Eh, oh eh.iyaa..kamu kok nggak ada?” tanyaku gugup, sambil menerima es jeruk segar darinya.
“Aku ada di dalam mobil, Mas. Mobilku kebetulan pakai kaca ribben. Jadi mas Gag geliat. Tapi kalo dari dalam aku bisa liat mas. Aku lihat mas begitu tulus mau bantu papaku. Aku kagum sama mas. Jaman kayak ini masih aja ada orang sebaik mas. Waktu itu aku pengen banget buka kaca mobil terus tanya nama mas. Tapi aku malu, Mas.”

Kagum? Apa yang bisa dikagumi dari orang kayak aku. Kalo kagum ke dia sih wajar. Cantik, plus kaya. Waktu itu mobil yang kehabisan bensin kalor Gag salah Mercedes Benz S-Class terbaru. Sebuah bukti kuat kalo dia orang kaya.

Aku menyeruput es jeruk pemberiannya. Ah segarnya..Apalagi diberi sama orang secantik dia. Tambah maknyuss rasanya.

“Makasih ya, Na. Kamu datang disaat yang tepat. Aku tadi kehausan tapi aku lupa Gag bawa uang.”
“Ah, mas berlebihan kebetulan aja kok.” Ucapnya tersipu.
“oh iya, mas.” Dia langsung berganti topik karena malu.
“Mas kan ludah tahu namaku. Gantian dong”
“iya, ya. Panggil aja Ali.”
“Sendirian aja, Na? Nggak sama cowoknya?”
“Sendirian aja dong. Aku Gag punya cowok mas. Cowok mana yang mau sama aku?” jawabnya asal.

Cowok mana yang mau sama aku? Kayaknya terbalik deh. Harusnya, Cowok mana yang NGGAK mau sama aku?

“Wah, jangan ngerendahin diri gitu Lah, Na. Cewek cantik kayak kamu masa’ Gag ada cowok yang mau sama kamu?”

Kulihat dia diam. Memerahlah pipinya.

“Udah ah Mas. Jangan muji terus itu. Emang sih banyak cowok yang suka sama aku. Malahan nggak sedikit yang udah nembak segala. Tapi..”
“Tapi apa?” tanyaku penasaran.
“Tapi aku nggak mau pasaran mas. Bukan nggak boleh sih, tapi aku sendiri yang jaga diri. Aku takut terjerumus pergaulan bebas, Mas.”

Subhanallah. Cewek cantik, kaya lumayan beriman lagi. Cocok jadi istri nih. Ups, kejauhan mikirnya.

“Wah, wah, wah.  Dewasa banget kamu ya? Aku sendiri juga nggak pacaran, Na. Karena nggak laku-laku. Nggak ada yang mau.” Celotehku
“Mas bisa aja. Mas kan ganteng, baik lagi. Masak nggak ada yang mau? Tapi mungkin mas Gag usah pacaran aja. Ntar baiknya ilang. Ya nggak?”

Waduh dibales aku dipuji itu. Sebelum kelihatan kalor lagi malu, aku nyelimur.

“Na, Gag usah panggil Mas ya? Kok kelihatannya aku yang tua banget gitu. Panggil aja Ali. Kamu kuliah Dimana?” ujarku padanya, tanpa memandang matanya. Takut
“Di Jakarta mas, eh, Il. Tapi sekarang lagi libur panjang. Makanya aku liburan ke rumah nenek di Solo ini.”
“Rumah nenekmu mana?”
“Tuh di belakang keraton. Deket kok. Kalo kamu Gag kuliah selain kerja?”

Aku diam. Dia menatapku dalam. Kupandang sekilas tatapannya.

“Kenapa, Li?”
“Eh, nggak apa-apa. Aku ..aku..”
  “Aku apa?”

Tatapannya makin dalam dan lembut. Begitu meneduhkan.

“Aku nggak bisa kuliah. Ibuku janda dan aku anak tunggal. Ayahku meninggal waktu aku masih SD. Jadi ibuku Gag punya biaya buat nyekolahin aku sampai kuliah. Aku juga harus bantu ibuku buat makan sehari-hari, Na.” Jelasku
“maaf ya, Il. Aku malah bikin kamu sedih. Aku jadi nggak enak.”
“Ah, bukan salah kamu kok, Na.”

Kulihat matahari makin tinggi.

“Eh, Na. Udah siang nih. Aku pulang dulu ya?” ucapku pamit.
“Iya deh. Aku juga mau pulang. Nomor hapemu berapa Li?
“Maaf, Na. Aku nggak punya hape.” Akuku jujur.
“Emm, kalo itu aku boleh kan ke tempat kerja kamu? Aku masih pengen ngomong banyak sama kamu, Li. Aku Senen ngobrol sama kamu. Kamu orangnya asyik buat cerita nah. Lagian aku di sini Gag punya temen, Li. Cuma kamu yang aku kenal.”
“Iya, Na. Nggak apa-apa.”
 “Udah ya, Li. Wassalamualaikum,”
“wa’alaikum salam”

Nggak nyangka ada cewek secantik itu mau kenalan sama aku. Tapi aku nggak mengharap lebih. Dia kan kaya. Aku orang biasa. Tapi seandainya dia lebih sholehah, mau berjilbab, menutup auratnya, dia sudah benar-benar menjadi bidadari yang selama ini kunantikan. Halah, opo wae..
***
 -Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar