Minggu pagi yang indah.
Aku baru turun dari masjid usai mengikuti kuliah subuh yang hanya ada di hari
Minggu. Hari ini aku libur. Daripada bosan, aku memutuskan untuk lari pagi.
Kuambil celana Training dan kaos oblong putih kesayanganku, yang bertuliskan
“Solo, The Spirit of Java”.
Aku berangkat. Sepanjang
perjalanan, kota Solo tampak ramai. Biasa lah, hari Minggu. Apalagi di Pasar
Klewer. Wiih, padat banget. Semua orang berdesakan untuk membeli barang yang
mereka inginkan. Kutinggalkan pasar yang menjadi trademark kotaku ini.
Sepanjang jalan, di kanan dan kiriku yang terlihat hanya toko. Dari toko
kelontong sampai toko lontong. Dari yang besar seperti supermarket sampai
warung kecil-kecilan. Dagangannya pun bermacam-macam.
Tak terasa di depanku
sudah terlihat alun-alun kota. Seperti alun-alun lain, di alun-alun kota Solo
juga berdampungan dengan Masjid Jami’. Selain itu di sini juga dekat dengan
kebanggaan kota kami, Keraton Surakarta. Walaupun aku sudah berusaha berangkat
awal, tapi ternyata di sini sudah ramai luar biasa. Tapi mau bagaimana lagi,
namanya juga hari Minggu. Aku pun mulai joging di sini.
Awalnya sih semangat.
Namun karena fisikku bukan seorang atlet lari nasional, maka hanya sampai 2
putaran saja aku mengurangi kecepatan dan akhirnya hanya berjalan saja. Setelah
berjalan 10 putaran, akhirnya tenagaku sudah habis. Aku pun mencari tempat
istirahat. Beruntung ada bangku taman yang kosong. Langsung saja kurebahkan
punggungku dan kuluruskan kakiku. Keringat mengucur deras. Es jeruk segar pasti
pas nih. Kurogoh saku trainingku. Kosong. Aku lupa untuk bawa uang tadi. Alamat
kekeringan ini. Sial banget...
Tiba-tiba segelas es
jeruk menggoda ada di depanku. Wah, datang dari surga. Kupandang yang membawa.
Wanita cantik, manis, kulit kuning langsat, dan rambut panjang terurai. Wah
benar-benar datang dari surga, nih yang bawa bidadari. Siapa ya kok gak pernah
kenal?
“Oh iya. Mas, aku lupa.
Mas nggak kenal aku, kan? Aku Sabrina. Panggil aja Nana. Aku tahu mas waktu
ngisi bensin. Waktu itu mobilku kehabisan bensin sebelum sampai di SPBU. Lalu
mas lari ke mobilku dan membawa satu jerigen berisi bensin.” Jelas dia panjang
lebar.
“Ooooo, waktu itu ya. Aku
ingat. Tapi yang aku lihat Cuma bapak-bapak. Kok kamu nggak ada?”
Dia mengambil posisi
duduk di sebelahku. Dekat. Hampir nyentuh. Kalo dihitung-hitunng kira-kira
hanya berjarak 1 mm saja. Wuiihh. Merinding. Maklum, aku nggak pernah sedekat
ini sama cewek. Apalagi cewek secantik ini.
“Mas, mas!” sergahnya
sambil mengayunkan tangannya ke mukaku. Seketika lamunanku buyar.
“Eh, oh eh.iyaa..kamu kok
nggak ada?” tanyaku gugup, sambil menerima es jeruk segar darinya.
“Aku ada di dalam mobil,
Mas. Mobilku kebetulan pakai kaca ribben. Jadi mas Gag geliat. Tapi kalo dari
dalam aku bisa liat mas. Aku lihat mas begitu tulus mau bantu papaku. Aku kagum
sama mas. Jaman kayak ini masih aja ada orang sebaik mas. Waktu itu aku pengen banget
buka kaca mobil terus tanya nama mas. Tapi aku malu, Mas.”
Kagum? Apa yang bisa
dikagumi dari orang kayak aku. Kalo kagum ke dia sih wajar. Cantik, plus kaya.
Waktu itu mobil yang kehabisan bensin kalor Gag salah Mercedes Benz S-Class
terbaru. Sebuah bukti kuat kalo dia orang kaya.
Aku menyeruput es jeruk
pemberiannya. Ah segarnya..Apalagi diberi sama orang secantik dia. Tambah
maknyuss rasanya.
“Makasih ya, Na. Kamu
datang disaat yang tepat. Aku tadi kehausan tapi aku lupa Gag bawa uang.”
“Ah, mas berlebihan
kebetulan aja kok.” Ucapnya tersipu.
“oh iya, mas.” Dia
langsung berganti topik karena malu.
“Mas kan ludah tahu
namaku. Gantian dong”
“iya, ya. Panggil aja
Ali.”
“Sendirian aja, Na? Nggak
sama cowoknya?”
“Sendirian aja dong. Aku
Gag punya cowok mas. Cowok mana yang mau sama aku?” jawabnya asal.
Cowok mana yang mau sama
aku? Kayaknya terbalik deh. Harusnya, Cowok mana yang NGGAK mau sama aku?
“Wah, jangan ngerendahin
diri gitu Lah, Na. Cewek cantik kayak kamu masa’ Gag ada cowok yang mau sama
kamu?”
Kulihat dia diam.
Memerahlah pipinya.
“Udah ah Mas. Jangan muji
terus itu. Emang sih banyak cowok yang suka sama aku. Malahan nggak sedikit
yang udah nembak segala. Tapi..”
“Tapi apa?” tanyaku
penasaran.
“Tapi aku nggak mau pasaran
mas. Bukan nggak boleh sih, tapi aku sendiri yang jaga diri. Aku takut
terjerumus pergaulan bebas, Mas.”
Subhanallah. Cewek
cantik, kaya lumayan beriman lagi. Cocok jadi istri nih. Ups, kejauhan
mikirnya.
“Wah, wah, wah. Dewasa banget kamu ya? Aku sendiri juga nggak
pacaran, Na. Karena nggak laku-laku. Nggak ada yang mau.” Celotehku
“Mas bisa aja. Mas kan
ganteng, baik lagi. Masak nggak ada yang mau? Tapi mungkin mas Gag usah pacaran
aja. Ntar baiknya ilang. Ya nggak?”
Waduh dibales aku dipuji
itu. Sebelum kelihatan kalor lagi malu, aku nyelimur.
“Na, Gag usah panggil Mas
ya? Kok kelihatannya aku yang tua banget gitu. Panggil aja Ali. Kamu kuliah Dimana?”
ujarku padanya, tanpa memandang matanya. Takut
“Di Jakarta mas, eh, Il.
Tapi sekarang lagi libur panjang. Makanya aku liburan ke rumah nenek di Solo
ini.”
“Rumah nenekmu mana?”
“Tuh di belakang keraton.
Deket kok. Kalo kamu Gag kuliah selain kerja?”
Aku diam. Dia menatapku
dalam. Kupandang sekilas tatapannya.
“Kenapa, Li?”
“Eh, nggak apa-apa. Aku ..aku..”
“Aku apa?”
Tatapannya makin dalam
dan lembut. Begitu meneduhkan.
“Aku nggak bisa kuliah.
Ibuku janda dan aku anak tunggal. Ayahku meninggal waktu aku masih SD. Jadi
ibuku Gag punya biaya buat nyekolahin aku sampai kuliah. Aku juga harus bantu
ibuku buat makan sehari-hari, Na.” Jelasku
“maaf ya, Il. Aku malah
bikin kamu sedih. Aku jadi nggak enak.”
“Ah, bukan salah kamu
kok, Na.”
Kulihat matahari makin
tinggi.
“Eh, Na. Udah siang nih.
Aku pulang dulu ya?” ucapku pamit.
“Iya deh. Aku juga mau
pulang. Nomor hapemu berapa Li?
“Maaf, Na. Aku nggak
punya hape.” Akuku jujur.
“Emm, kalo itu aku boleh
kan ke tempat kerja kamu? Aku masih pengen ngomong banyak sama kamu, Li. Aku
Senen ngobrol sama kamu. Kamu orangnya asyik buat cerita nah. Lagian aku di
sini Gag punya temen, Li. Cuma kamu yang aku kenal.”
“Iya, Na. Nggak apa-apa.”
“Udah ya, Li. Wassalamualaikum,”
“wa’alaikum salam”
Nggak nyangka ada cewek
secantik itu mau kenalan sama aku. Tapi aku nggak mengharap lebih. Dia kan
kaya. Aku orang biasa. Tapi seandainya dia lebih sholehah, mau berjilbab,
menutup auratnya, dia sudah benar-benar menjadi bidadari yang selama ini
kunantikan. Halah, opo wae..
***
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar