Jumat, 26 Juli 2013

Esensi Nuzulul Qur'an, Mulai Menurunkan Al Qur'an ke kehidupan






Tak terasa sudah 17 hari kita menjalani ibadah puasa Romadhon. Saya sendiri juga tak menghitung sehingga tak tahu sudah sampai sejauh ini. Entah karena saking khusyu'nya menikmati bulan penuh barokah ini, atau entah karena kesibukan yang membuatnya terasa cepat. Atau bahkan karena suasana Romadhon tahun ini yang penuh perbedaan. Ya, berbeda karena ada dua alasan. Yang pertama karena ini adalah puasa pertama di kota orang, tidak di rumah. Sejak lahir saya selalu merasakan bulan Ramadhan di kota kelahiran. Yang kedua karena bulan ini adalah Ramadhan pertama tanpa adanya seorang ayah. Sangat berbeda.


Saat melaksanakan sholat jumat tadi siang, saya baru teringat bahwa hari ini adalah 17 Romadhon karena Khotib menyampaikan topik tentang Nuzulul Qur'an. Itu pula yang membuat saya tergerak untuk sedikit menuliskan tentang Nuzulul Qur'an, tapi bukan dari sisi seorang da'i atau ustadz, karena saya bukan alumni pondok pesantren ataupun universitas islam ternama, tapi dari sisi seorang Muslim biasa yang hidup di era jaman edan. Jadi saya disini tidak ingin berceramah, tapi ingin membuka wawasan saya sendiri tentang bagaimana memaknai esensi Nuzulul Qur'an.

Nuzulul Qur'an dalam Bahasa Indonesia berarti Malam Turunnya Al Qur'an. Menurut yang saya tahu, ini terjadi pada 17 Ramadhan di Gua Hira. Wahyu pertama yang turun adalah Al Alaq 1-5. Ayat tersebut merupakan penuntun bagi Nabi Muhammad SAW yang seorang umi (tidak bisa baca tulis) untuk mendpatkan wahyu. Nah, untuk pelajaran Sejarah Islamnya cukup sampai disini, karena jika diteruskan akan semakin ngelantur karena saya tidak paham secara mendetail

Akhir-akhir ini saya pernah mendengar orang-orang yang mempertanyakan keaslian Al Qur'an. Entah mereka terpikir darimana. Keaslian Al Qur'an jika boleh dibilang memang sudah tidak asli. Karena Al Qur'an sekarang sudah diberi tanda harokat, tanda waqof, tanda titik dan sebagainya yang pada saat turun pertama dulu. Tapi semua itu dilakukan untuk mempermudah bagi kita untuk membacanya. Utamanya kita yang bukan orang Arab. Tapi apakah itu disebut tidak asli yang sesungguhnya? Mungkin juga tidak asli karena Al Qur'an sekarang dicetak dengan mesin canggih, bukan tulis tangan di kulit unta seperti dulu. Tapi apa mungkin di jaman sekarang kita membuat Al Qur'an seasli dulu itu? Yang jelas itu menurut saya aneh. Kenapa aneh? Karena mereka yang mempertanyakan tersebut hidup di jaman sekarang, yang tidak hidup di jaman Nabi Muhammad SAW atau para shahabat. Lalu darimana dia tahu asli atau tidak, sedang dia sendiri tahu tentang Al Qur'an juga dari orang yang mungkin disebut gurunya, yang juga nasabnya jauh di bawah Rasulullah SAW? Sebenarnya penafikan Al Qur'an tidak terjadi sekarang, yang mungkin notabene karena kita sudah jauh dari jaman Nabi dan Shahabat. Lha wong di jaman Nabi dulu, yang jelas2 Nabi sendiri yang mendapat wahyu dan sudah jelas langsung turun dari Allah, itu saja masih banyak yang tidak mau mengakui keaslian Al Qur'an. Jadi wajar kalo masih ada yang mempertanyakan keasliannya sekarang. Jika ada yang mempertanyakan, jawab saja. " Sudah dari jaman Nabi ada orang kayak kamu." Selesai. 

Sebenarnya esensi apa yang bisa kita maknai dalam jaman sekarang ini? Ya, mungkin Al Qur'an sudah banyak ditinggalkan muslimin di mana saja. Jika boleh berkaca, berapa lama sehari kita membaca Al Qur'an? jika dipresentasikan dengan 24 jam, adakan 1 persennya? Lebih lama mana, Al Qur'an kita pegang dengan handphone kita genggam? Jika kita kemana2 kita lebih bingung saat tidak membawa handphone atau Al Qur'an? Pertanyaan2 menusuk tadi berlaku juga untuk saya.

Dari situ sudah jelas bahwa nilai Al Qur'an sudah berbeda. Bukan menjadi sesuatu yang suci dan sakral untuk dibaca, tapi sesuatu yang bersih dan bagus, dalam konteks karena jawang dibaca dan masih tersimpan dengan baik. Saya sekali lagi memaklumi keadaan ini, karena gempuran dari barat sangatlah kuat, dengan pertahanan kita yang rapuh. Akhirnya jebol juga lah kadar keimanan kita. 

Nuzulul Quran hendaknya tidak hany kita peringati saja, tapi besoknya sudah hilang tak berbekas. Namun memaknainya jauh lebih baik. Kita lebih dekat dan meluangkat waktu untuk membacanya dengan tajwid dan makhraj yang benar, mendalami maknanya dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Kalo kita memang kurang ilmu agama atau tentang Al Quran, bisa ikut pengajian atau majlis taklim, baik secara langsung, maupun via televisi dan internet. 
Mungkin, kita memang bukan seorang yang hafidzh atau hafidzhoh, bukan muballigh bukan pula da'i. Ilmu kita memang tidak dalam atau luas tentang agama. Tapi minimal kita amalkan apa yang bisa kita amalkan, yang penting istiqomah.

Dan akhirnya Nuzulul Qur'an "yang sesungguhnya" akan benar2 terjadi dalam diri kita, yaitu turunnya Al Qur'an ke hati dan kehidupan kita.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar