Jumat, 17 April 2015

25, Angka Kritis Kegalauan

Jodoh. Sebuah kata yang mudah diucapkan tapi sulit untuk dideskripsikan. Bukan secara tekstual atau epistemiologisnya, tapi secara faktual yang mudah dipahami awam. Apakah jodoh itu pasangan? Atau jodoh adalah cinta? Yang jelas kata jodoh saat ini menjadi topik terhangat di kalangan saya, kalangan usia galau peralihan dari lajang ke menikah. Usia saya sendiri sekarang 25 tahun.Yang ingin saya bahas adalah soal angka 25 itu sendiri. Mungkin ini adalah bentuk curahan hati penulis sendiri, saya, yang sekarang sudah berumur seperempat abad. Wajar, karena memang blog ini adalah tempat mencurahkan isi hati saya. Jadi, sebelum saya diprotes dengan kata "Curcoool nih yee??", saya klarifikasi dulu. Ya, usia 25 adalah usia kritis seseorang dalam menentukan arah hidupnya. Ada beberapa catatan saya atau lebih tepatnya apa yang saya rasakan dan saya amati dari lingkungan sekitar tentang ke-kritisan usia 25.

Yang pertama, usia 25 tahun adalah usia peralihan fase terakhir. Entah saya keliru atau benar, seingat saya ada namanya fase remaja akhir dan fase dewasa awal di tingkatan fase kehidupan manusia secara psikologis. Dan usia 25 ini umumnya menjadi muara antara remaja akhir dan dewasa awal. Pertemuan dua fase yang berbeda inilah yang menyebabkan terjadi distorsi dan proses sinkronisasi mental yang cukup menguras pikiran. Di satu sisi kita masih merasa remaja yang berjiwa muda, penuh emosi, kekanak kanakan, semaunya sendiri. Di sisi lain kita sudah dewasa, harus berpikir matang, bersikap bijak, kuat menghadapi kehidupan dan lain lain. Akhirnya terjadi akulturasi antara karakter remaja dan dewasa di saat bersamaan. Hal ini bisa ditunjukkan ketidak konsistenan dalam bersikap. Kadang sangat dewasa, kadang masih ada unsur kekanakannya. Ini pula yang membuat stres bagi kita.

Kedua, usia 25 tahun umumnya adalah usia para pekerja atau karyawan muda. Setelah lama mengenyam bangku kuliah, akhirnya bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan. Entah pekerjaan itu linear dengan bidang kuliahnya atau tidak, entah sesuai dengan keinginan atau tidak, yang jelas di usia ini kebanyakan sudah mempunyai penghasilan sendiri. Di sisi lain, kami belum memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarga karena memang masih belum berkeluarga sendiri. Walhasil penghasilan yang didapatkan dinikmati sendiri dan diatur sesuka hati. Beruntung bagi orang yang hemat dan teliti. Bagi yang tidak? Maka dia akan merasa menjadi seekor burung elang yang terbang tinggi di awan. Bebas, lepas, menerkam mangsa. Maksudnya adalah kebebasan inilah yang justru menimbulkan kegalauan. Karena terlalu terbiasa bebas maka akan berdampak buruk apabila kelak berkeluarga yang notabene terikat.

Terakhir, usia 25 menjadi sebuah ambang batas yang walaupun tidak tertulis, tapi mau tidak mau diakui oleh masyarakat. Khususnya untuk perempuan. Jika perempuan sampai usia 25 tahun belum menikah, maka secara tidak langsung stigma di masyarakat akan muncul. Minimal dari omongan ringan hingga terberat yang bisa menusuk hati. Memang secara ilmu biologi, usia produktif wanita adalah 20-25 tahun. Semakin lebih dari 25 tahun maka semakin menjadi resiko tinggi untuk hamil. Itu mungkin menjadi salah satu penguat stigma yang ada. Tapi fenomena yang terjadi dan saya amati sendiri cukup unik. Jika memang 20-25 tahun adalah usia ideal bagi perempuan untuk menikah, maka yang terjadi malah sebaliknya. Yang semakin marak adalah kurang atau lebih dari itu. Dan itu terjadi di dalam kondisi yang berbeda latar belakang.
Di pedesaan, fenomena pernikahan dini masih sangat tinggi, bahkan semakin meningkat. Anak-anak usia sekolah yang harusnya belajar malah dipaksa menjadi ibu rumah tangga. Tapi ada pergeseran. Jika dahulu pernikahan dini terjadi karena adat istiadat, saat ini muncul fenomena baru yaitu karena pergaulan bebas. Yang terjadi antara dua, jika tidak sudah terlanjut hamil, maka orang tua kuatir hamil karena pacarannya sudah menjurus dan terlalu intens. akhirnya dinikahkan.
Di sisi lain, di perkotaan, usia pernikahan sangatlah tinggi. Baik untuk laki-laki atau perempuan. Khusus untuk perempuan, di perkotaan sudah lazim adanya wanita karir. Dan mereka benar-benar mementingkan karir mereka daripada menikah. Mereka merasa bebas menjadi lajang daripada harus ribet dengan suami atau anak. Bahkan ada yang merasa jika menikah maka dia akan terkekang dalam hal finansial, tidak bebas berkarir lagi. Ini membuat usia pernikahan menjadi sangat tinggi, diatas 30 tahun.

Kembali ke angka 25. Jika diibaratkan sepakbola, usia 25 tahun ini adalah waktu-waktu krusial yang sangat menentukan. Orang di usia kurang dari 25 tahun biasanya memiliki idealisme yang tinggi, berpikir cukup sekali dua kali dan kadang cenderung nekat. Dan jika mereka berhasil menikah di usia sebelum 25, maka dengan baik mereka akan melewati 25 tahun. Sebaliknya, orang dengan usia di atas 25 tahun sudah memiliki idealisme yang tipis, kenekatan yang menurun bahkan selalu berpikir beribu kali untuk melakukan sesuatu. Termasuk untuk menikah. Akhirnya, jika terlewat usia 25 tahun, maka kemungkinan besar semakin banyak aral dan rintangan yang akan menghalangi untuk menikah.

Note : Paparan di atas adalah opini dan hasil observasi yang sangat subjektif. Jika ada yang merasa tidak sepakat, silahkan protes ke saya dan kita berdiskusi. hahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar