Gelap. Kenapa dunia jadi gelap. Apa aku sudah mati? Tubuhku
ringan. Aku coba untuk mencari cahaya, tapi tak ada. Sunyi dan sepi yang
kurasa. Dimanakah ini?
Telah lama kurasakan kegelapan ini. Entah sudah berapa lama aku terkurung dalam kegelapan ini.
Saat
aku menikmati kegelapan dan kesunyian ini, datang sebuah cahaya
menyilaukan mata. Makin lama makin terang dan akhirnya saat kubuka mata
yang kulihat hanya satu warna, putih. Apakah ini surga? Tapi dimanakah
bidadarinya?
“Li, kamu sudah sadar.” Terdengar suara yang tidak asing bagiku. Kulihat dengan seksama. Bidadari??? Ternyata ini benar surga.
“Di mana ini dan kamu siapa?” tanyaku pada bidadari itu.
“Li, ini aku, Nana, Li. Kamu di rumah sakit. Udah tiga bulan kamu disini dan kamu baru sadar sekarang.” Ucapnya penuh haru.
“Nana??”
Aku
mencoba memutar memoriku. Kucari memoriku tentang sebuah nama. Nana.
Oh, Nana. Aisyah Sabrina Putri. Ya, aku ingat. Memang mirip dengan
wanita di depanku ini. Tapi dia koq berjilbab?
“aku seneng kamu udah sadar Li,” kata Nana sambil tersenyum dan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat kemudian, Pak Tono datang.
“Pa, Ali siuman Pa. “ sambut Nana sambil memeluk papanya.
“Alhamdulillah.”
Kebahagiaan
menghiasi wajah Nana dan Pak Tono. Aku yang sudah lama dirawat di rumah
sakit dan dicemaskan selama ini telah sadar kembali.
“Li, kami bersyukur kamu sudah sadar. Kami ikut berbela sungkawa atas wafatnya ibumu, Li.” Suara Pak Tono sayup-sayup terdengar.
Aku
diam. Ayah dan ibuku sekarang telah tiada. Tiga bulan yang lalu, aku
masih bisa makan pecek tempe buatan ibuku. Saat itu ibu sudah bilang
jika dia mau pergi. Kupikir hanya gurauan. Namun, ibu ternyata sudah
mendapatkan firasat. Tapi, aku tidak menemaninya di saat-saat
terakhirnya. Aku tidak bisa menciumnya untuk yang terakhir kali. Ya
Allah ampunilah hamba-Mu yang tidak dapat membahagiakan ibunya ini.
Pipiku pun terasa hangat karena air mata.
“Iya,
Pak. SAma-sama. Terima kasih sudah bersedia menunggu dan membiayai
pengobatan saya selama ini. Saya tidak tahu harus membalas dengan apa.”
Ucapku.
“Sudahlah, Li. Kamu
sudah aku anggap sebagai anakku sendiri. Oh, iya. Ini lho li yang paling
cemas waktu kamu belum sadar. Dia setia nungguin kamu 24 jam sehari
selama tiga bulan ini, Li. Dia juga rela tidak masuk kuliah demi kamu,
Li.”
Nana tersipu.
“Kamu berjilbab sekarang, Na?” tanyaku
“Alhamdulillah, Mas, eh,Li.” Jawabnya.
“Ohh..itu juga berkat kamu, Li.” Sahut Pak Tono.
“Koq bisa karena saya pak?” aku heran.
“Ya
bisa toh. Dia melihat begitu berat ujian yang kamu pikul. Sedangkan dia
selama ini hanya merasakan hidup yang enak-enak saja. Kuliah, shopping,
hang out dengan teman-teman, minta apa-apa ke aku selalu aku kasih. Dia
tidak pernah membayangkan jika dia yang menjadi kamu.” Jelas Pak Tono.
“Lalu
dia sadar kalau dia masih belum memiliki iman yang mantap. Dia masih
mengumbar auratnya. Dia pun memutuskan untuk berjilbab dan tentunya
semakin mendekatkan diri kepada Allah.” Lanjut Pak Tono.
“Alhamdulillah pak. Saya ikut bahagia melihat Nana lebih baik. Kamu juga tambah cantik kalo berjilbab, Na.” sahutku.
Dia tersenyum dan memerahlah pipinya.
“Li, sekarang kamu kan sendiri. Lalu bagaimana rencana hidupmu selanjutnya?” Tanya Pak Tono kemudian.
“Entahlah
Pak. Saya tidah tahu bagaimana hidup saya selanjutnya. Tapi saya akan
memasrahkan semuanya kepada Allah Pak. Pasti Allah tahu yang terbaik
bagi saya. “ ucapku pasrah.
“Yang tabah ya, Li?” timpal Nana.
“Iya
Na. Insya Allah. Allah tidak akan memberikan ujian kepada hamba-Nya
melebihi batas kemampuan hamba-Nya itu koq Na.” jawabku sambil
tersenyum.
“Ngomong-ngomong, Li.
Kemarin bapak dapat telpon dari teman akrab bapak yang berdomisili di
Mesir. Katanya dia punya beasiswa buat kuliah di Universitas Al Azhar,
Kairo Mesir. Dan dia juga nyediain tempat tinggalnya. Tapi anak bapak
kan udah kuliah di UI. Tuh, si Nana. Kamu mau nggak kuliah di Mesir?”
tanya Pak Tono.
~Bersambung~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar