Sudah hampir satu bulan aku mengenal Nana. Dan kurasakan aku begitu
dekat dengan dia, walaupun di antara kami tidak ada ikatan apapun. Tapi,
sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu. Aku kok jadi kangen ya? Duh,
inikah yang namanya cinta. Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu dalam
kehidupan cintaku ini.
My Love
I love you because Allah
And you love me because Allah
This is true love
This is the highest love
My love
Love your God
Love Allah
Then He will send you the real love
Then He will give you person with true love
You will happy in the world
And in heaven
Forever
“Le, tole, le.” Suara ibuku lembut.
“Oh, inggih bu. Wonten napa?”
“Iki le. Terno jahitane Pak Rudi, sing omahe cedhak keraton kono.”
“Inggih bu.”
Aku
ingat betul dengan Pak Rudi. Dia langganan tetap ibuku. Tapi yang
paling kuingat adalah dia selalu membayar lebih dari ongkos jahitannya.
Aku senang ada orang yang baik kepada kami.
Setelah kuserahkan
kepada Pak Rudi dan menerima ongkos darinya, yang seperti biasanya lebih
banyak, aku pamit. Kugerakkan motorku pelan karena aku malas untuk
cepat-cepat pulang. Dan..Cesssss..
Suara apa ya? Kutengok ban
motorku. Waduh, bocor nih. Terpaksa aku tuntun motorku sampai menemukan
tempat tambal ban. Capek nih. Tapi mau gimana lagi. Aku harus tetap
jalan. Oh, iya. Disini kan daerah rumahnya nenek Nana. Waktu itu aku
pernah kesini. Nah ini rumahnya. Aku celingukan mencari Nana. Tapi aku
nggak berani masuk. Malu. Ternyata sepi nggak ada orang. Aku lanjutin
perjalananku pulang yang melelahkan dengan mendorong motor yang sedang
bocor ini.
“Li, Ali!”
Aku menoleh. Oh, itu Nana.
Tempe dicinta ayam goring tiba. Nana mendekati aku. Dia rapi sekali
dengan baju lengan panjang dan rok panjangnya. Anggun.
“Duh, mau kemana nih. Cantik banget?” godaku.
“Kebetulan, li. Pak Narto, sopirnya nenekku nggak ada. Padahal aku mau pergi. Aku mau cari buku.,” jelas Nana.
“Mmm. Lalu ceritanya kamu mau minta anter aku? Jadi tukang ojek gitu?” tanyaku menggoda.
“Kok kamu gitu, Li. Kamu nggak mau? Ya udah, aku naik taksi aja.” Nana ngambek.
“Enggak kok. Bercanda. Sebenernya aku mau sih. Tapi gimana ya? Nih ban motorku bocor.” Kutunjukkan ban motorku yang bocor.
“Yah, gimana dong.”
Kugelengkan
kepala. Yah apes banget. Tadi pengen banget ketemu. Giliran udah
ketemu, eh, nih motor pake acara bocor segala. Nasib-nasib.
“Emhh..Kamu bisa nyetir gak?” Ada mobil nggak dipake tuh.” Tanyanya kemudian.
“Insya Allah, Na. Kalo SIMnya sih udah punya. Cuma mobilnya yang belum ada. Hehehe.”
“Suatu saat pasti kamu bisa punya kok. Yuk masuk, ambil mobilnya.”
“trus motorku gimana?”
“Gampang. Biar Pak Tukijan yang nambalin.”
“Oh iya deh.”
Aku
masuk ke rumah neneknya. Waktu itu aku Cuma sampai depan rumahnya aja.
Dan ternyata, wuiih, gueedee. Mewah, megah dan elegan. Tapi tetap
bernuansa utama adat Jawa. Kuletakkan motorku. Pak Tukijan lalu membawa
motorku sambil tersenyum. Kubalas senyumnya dan kuucapkan terima kasih.
“Mbah, kula bidhal rumiyin.” Kata Nana kepada neneknya.
“Karo sapa nduk?”
“Kaliyan Ali, mbah.”
Aku kemudian mendekati neneknya dan mencium tangannya.
“Kowe tho sing jenenge Ali.”
“Injih mbah, Kula Ali.”
“Kowe bocah endi le?”
“Cedhak Pasar Klewer mbah.”
“Yowes ati-ati le, nduk.”
“Injih mbah. Assalamualaikum.” Ucapku dan Nana bersamaan
“Wa alaikum salam.”
Nana menyerahkan kunci mobilnya.
“Ini
mobilnya?” tanyaku sambil memandang ke arah sebuah sedan BMW Z-4 yang
mulus. Sporty abis. Beda sama mercy punya papanya yang silver metalik.
Memang sih BMW, khususnya tipe ini, terkesan lebih garang, sporty dan
lebih cocok untuk anak muda ketimbang Mercedes Benz. Tapi sebenarnya
sama. Sama mahalnya.
“he-eh. Ayo.”
Kubuka pintu mobil. Aku
duduk. Wah, nyamannya. Jok empuk, setirnya pas di tangan, panel-panelnya
lengkap dan modern, giginya pun sudah otomatis. Ada DVD player plus
mini LCD buat lihat videonya juga, lengkap dengan audio sub woofer
stereo. Kapan ya aku bisa punya mobil seperti ini?
Nana
duduk di sampingku. Wah wah, udah kayak pasangan keluarga borjuis nih.
Kustarter mobil perlahan. Lembut tapi garang suaranya. Kejalankan
perlahan kemudian melaju dengan gagahnya menuju toko buku terbesar di
Solo. Sesudah beberapa lama mencari buku, kami kembali ke mobil. Kulihat
buku yang dibelinya. Banyak dan tebal-tebal. Ternyata Nana suka
membaca.
“Kemana lagi, Non? Pak supir siap mengantar.” Candaku
“Ah, Ali. Kamu tuh ada-ada aja. Pulang aja deh.”
Kupacu
mobil ini dengan kencang, layaknya seorang pembalap Formula 1. Mumpung
jalanan sepi. Tarikannya enteng banget. Nggak terasa speedometer
menunjukkan angka 120. Wuuuzzzzz. Akhirnya tiba juga di jalan Raya Utama
Kota Solo, yang notabene ramai, sehingga aku mengurangi kecepatan.
Tiba-tiba ada sepeda motor mendahului dengan ugal-ugalan. Aku kaget dan
reflex ingin mengumpat AS*. Tapi kubisa menahan amarahku dan berubah
menjadi Astaghfirullahal adzim.
Dan tepat di depan mobil, motor
itu ternyata menabrak seorang nenek. Nenek itu terjatuh tak sadarkan
diri, dan motor tadi kabur meninggalkan nenek itu dengan bersimbah
darah. Ckiiiit. Kurem mobil secara mendadak dan kupinggirkan ke tepi
jalan. Aku keluar secara reflex dan berlari ke tengah jalan. Kuhampiri
nenek itu dan kubopong dengan beberapa orang.
“Na, kita bawa nenek ini ke rumah sakit ya?” ujarku terengah-engah meminta izin kepada Nana.
“Iya, Li. Kasihan. Biar cepet ditangani.” Jawab Nana.
Nenek itu berbaring di kursi belakang bersama seorang wanita setengah baya yang sepertinya anaknya. Wanita itu menangis.
“Tenang njih bu. Insya Allah mboten napa-napa.” Ujarku menenangkan.
“Maturnuwun
mas, mbak. Mugi-mugi amalipun panjenengan dibales kaliyan Gusti
Pengeran. Mugi-mugi keluarga njenengan dados keluarga sakinah nggih.”
“Amin.” Jawabku bersama Nana.
Nana
memandangku. Aku tersenyum dan menggeleng. Kami ingin berkata, kami
bukan suami istri dan belum menjadi keluarga. Tapi kami diam. Kami tidak
ingin mengusik kesedihannya.
~Bersambung~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar