Senin, 03 Februari 2014

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 5

Sudah hampir satu bulan aku mengenal Nana. Dan kurasakan aku begitu dekat dengan dia, walaupun di antara kami tidak ada ikatan apapun. Tapi, sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu. Aku kok jadi kangen ya? Duh, inikah yang namanya cinta. Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu dalam kehidupan cintaku ini.

My Love
I love you because Allah
And you love me because Allah
This is true love
This is the highest love

My love
Love your God
Love Allah
Then He will send you the real love
Then He will give you person with true love
You will happy in the world
And in heaven
Forever

“Le, tole, le.” Suara ibuku lembut.
“Oh, inggih bu. Wonten napa?”
“Iki le. Terno jahitane Pak Rudi, sing omahe cedhak keraton kono.”
“Inggih bu.”

Aku ingat betul dengan Pak Rudi. Dia langganan tetap ibuku. Tapi yang paling kuingat adalah dia selalu membayar lebih dari ongkos jahitannya. Aku senang ada orang yang baik kepada kami.
Setelah kuserahkan kepada Pak Rudi dan menerima ongkos darinya, yang seperti biasanya lebih banyak, aku pamit. Kugerakkan motorku pelan karena aku malas untuk cepat-cepat pulang. Dan..Cesssss..
Suara apa ya? Kutengok ban motorku. Waduh, bocor nih. Terpaksa aku tuntun motorku sampai menemukan tempat tambal ban. Capek nih. Tapi mau gimana lagi. Aku harus tetap jalan. Oh, iya. Disini kan daerah rumahnya nenek Nana. Waktu itu aku pernah kesini. Nah ini rumahnya. Aku celingukan mencari Nana. Tapi aku nggak berani masuk. Malu. Ternyata sepi nggak ada orang. Aku lanjutin perjalananku pulang yang melelahkan dengan mendorong motor yang sedang bocor ini.

“Li, Ali!”
Aku menoleh. Oh, itu Nana. Tempe dicinta ayam goring tiba. Nana mendekati aku. Dia rapi sekali dengan baju lengan panjang dan rok panjangnya. Anggun.
“Duh, mau kemana nih. Cantik banget?” godaku.
“Kebetulan, li. Pak Narto, sopirnya nenekku nggak ada. Padahal aku mau pergi. Aku mau cari buku.,” jelas Nana.
“Mmm. Lalu ceritanya kamu mau minta anter aku? Jadi tukang ojek gitu?” tanyaku menggoda.
“Kok kamu gitu, Li. Kamu nggak mau? Ya udah, aku naik taksi aja.” Nana ngambek.
“Enggak kok. Bercanda. Sebenernya aku mau sih. Tapi gimana ya? Nih ban motorku bocor.” Kutunjukkan ban motorku yang bocor.
“Yah, gimana dong.”
Kugelengkan kepala. Yah apes banget. Tadi pengen banget ketemu. Giliran udah ketemu, eh, nih motor pake acara bocor segala. Nasib-nasib.
“Emhh..Kamu bisa nyetir gak?” Ada mobil nggak dipake tuh.” Tanyanya kemudian.
“Insya Allah, Na. Kalo SIMnya sih udah punya. Cuma mobilnya yang belum ada. Hehehe.”
“Suatu saat pasti kamu bisa punya kok. Yuk masuk, ambil mobilnya.”
“trus motorku gimana?”
“Gampang. Biar Pak Tukijan yang nambalin.”
“Oh iya deh.”

Aku masuk ke rumah neneknya. Waktu itu aku Cuma sampai depan rumahnya aja. Dan ternyata, wuiih,  gueedee. Mewah, megah dan elegan. Tapi tetap bernuansa utama adat Jawa. Kuletakkan motorku. Pak Tukijan lalu membawa motorku sambil tersenyum. Kubalas senyumnya dan kuucapkan terima kasih.
“Mbah, kula bidhal rumiyin.” Kata Nana kepada neneknya.
“Karo sapa nduk?”
“Kaliyan Ali, mbah.”
Aku kemudian mendekati neneknya dan mencium tangannya.
“Kowe tho sing jenenge Ali.”
“Injih mbah, Kula Ali.”
“Kowe bocah endi le?”
“Cedhak Pasar Klewer mbah.”
“Yowes ati-ati le, nduk.”
“Injih mbah. Assalamualaikum.” Ucapku dan Nana bersamaan
“Wa alaikum salam.”

Nana menyerahkan kunci mobilnya.
“Ini mobilnya?” tanyaku sambil memandang ke arah sebuah sedan BMW Z-4 yang mulus. Sporty abis. Beda sama mercy punya papanya yang silver metalik. Memang sih BMW, khususnya tipe ini, terkesan lebih garang, sporty dan lebih cocok untuk anak muda ketimbang Mercedes Benz. Tapi sebenarnya sama. Sama mahalnya.
“he-eh. Ayo.”
Kubuka pintu mobil. Aku duduk. Wah, nyamannya. Jok empuk, setirnya pas di tangan, panel-panelnya lengkap dan modern, giginya pun sudah otomatis. Ada DVD player plus mini LCD buat lihat videonya juga, lengkap dengan audio sub woofer stereo. Kapan ya aku bisa punya mobil seperti ini?

Nana duduk di sampingku. Wah wah, udah kayak pasangan keluarga borjuis nih. Kustarter mobil perlahan. Lembut tapi garang suaranya. Kejalankan perlahan kemudian melaju dengan gagahnya menuju toko buku terbesar di Solo. Sesudah beberapa lama mencari buku, kami kembali ke mobil. Kulihat buku yang dibelinya. Banyak dan tebal-tebal. Ternyata Nana suka membaca.
“Kemana lagi, Non? Pak supir siap mengantar.” Candaku
“Ah, Ali. Kamu tuh ada-ada aja. Pulang aja deh.”
Kupacu mobil ini dengan kencang, layaknya seorang pembalap Formula 1. Mumpung jalanan sepi. Tarikannya enteng banget. Nggak terasa speedometer menunjukkan angka 120. Wuuuzzzzz. Akhirnya tiba juga di jalan Raya Utama Kota Solo, yang notabene ramai, sehingga aku mengurangi kecepatan. Tiba-tiba ada sepeda motor mendahului dengan ugal-ugalan. Aku kaget dan reflex ingin mengumpat AS*. Tapi kubisa menahan amarahku dan berubah menjadi Astaghfirullahal adzim.
Dan tepat di depan mobil, motor itu ternyata menabrak seorang nenek. Nenek itu terjatuh tak sadarkan diri, dan motor tadi kabur meninggalkan nenek itu dengan bersimbah darah. Ckiiiit. Kurem mobil secara mendadak dan kupinggirkan ke tepi jalan. Aku keluar secara reflex dan berlari ke tengah jalan. Kuhampiri nenek itu dan kubopong dengan beberapa orang.

“Na, kita bawa nenek ini ke rumah sakit ya?” ujarku terengah-engah meminta izin kepada Nana.
“Iya, Li. Kasihan. Biar cepet ditangani.” Jawab Nana.
Nenek itu berbaring di kursi belakang bersama seorang wanita setengah baya yang sepertinya anaknya. Wanita itu menangis.
“Tenang njih bu. Insya Allah mboten napa-napa.” Ujarku menenangkan.
“Maturnuwun mas, mbak. Mugi-mugi amalipun panjenengan dibales kaliyan Gusti Pengeran. Mugi-mugi keluarga njenengan dados keluarga sakinah nggih.”
“Amin.” Jawabku bersama Nana.
Nana memandangku. Aku tersenyum dan menggeleng. Kami ingin berkata, kami bukan suami istri dan belum menjadi keluarga. Tapi kami diam. Kami tidak ingin mengusik kesedihannya.
~Bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar