Disini saya tidak sedang berceramah ataupun memberikan taushiyah dan
mauidhoh Hasanah. Karena sangat tidak layak saya melakukan itu mengingat
ilmu agama yang sangatlah dangkal. Saya juga tidak hafal hadis maupun
tafsir Al-Qur’an. Tentunya saya sungkan dengan santri-santri pondok
pesantren terkemuka yang tiap hari mendaras kitab kuning dan mengaji
dari kiai-kiai yang maksum. Memang istilah yang saya gunakan agak berbau
kesantri-santrian.Yaitu Husnudzon. Karena jelas ini dari bahasa Arab.
Namun yang ingin saya sampaikan di sini adalah bagaimana aplikasinya,
berdasarkan pengalaman maupun wawasan umum saya yang cenderung bersifat
subjektif saja.
Husnudzon (Berbaik sangka) yang merupakan
lawan kata dari su’udzon (berburuk sangka). Adalah sebuah kata yang
selalu sulit untuk dilakukan. Yang sering muncul pasti lawan katanya.
Entah karena itu adalah sifat dasar manusia ataukah memang godaan dari
setan lebih kuat daripada malaikatnya. Namun yang jelas ber-Husnudzon
adalah sebuah hal yang langka terjadi saat ini. Padahal, husnudzon
adalah salah satu akhlaqul karimah (akhlaq terpuji) yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu ber-husnudzon kepada siapapun.
Bukan hanya kepada kawan atau umatnya, namun juga kepada musuh-musuh
beliau. Memang, kita tidak bisa dibandingkan dengan Kanjeng Nabi
Muhammad SAW. Tapi paling tidak mencicipi sedikit lah bagaimana
menikmati hidup dengan ber-husnudzon. Untuk lebih dapat memahami tentang
husnudzon dan su’udzon, mari kita simak sebuah kisah yang insya Allah
cukup menarik.
Ada sebuah percakapan antara dua orang
teman lama yang dulunya adalah kakak dan adik angkatan di sebuah kampus
hitam di negeri antah berantah.
A : “Kang, udah denger kabar soal kampus kita Nggak kang?”
B : “Kabar apa toh?”
A : “Itu dekan kita. Kena kasus kang. Ini beritanya.”
B : “Mana aku baca dulu.”
A : “Gimana Kang?”
B : “Ohh itu to.”
A : “Koq Cuma oh itu atuh kang?”
B : “Lah terus aku harus bilang apa to?”
A
: “Kang-kang. Akang ini aneh. Seisi kampus kita heboh luar biasa.
Ngalah2in hebohnya kiamat 2012. Bahkan sampai alumni2 pada bingung kang.
Akang malah nanggepi dingin gitu. Akang kan mantan aktivis,mantan
Presiden BEM kampus kita. Mana idealisme akang? Mana suara akang? Apa
udah habis gara2 akang sekarang udah kerja jauh dari kota tempat kampus
kita?Apa karena akang udah nggak peduli sama almamater kita kang?”
B
: “Astaghfirullahal adzim. Sabar to yo. Gak usah pake emosi bro. Aku
bingung mau jawab yang mana duluan kalo kamu cecar pertanyaan yang
menyudutkan kayak wartawan TV*Ne aja. Untung aku bukan Ahok yang
langsung nyekak kamu dan ngusir kamu.”
A : “Hehe..Maap kang. Akang sih, dingin gitu nanggepinya.”
B
: “Kalo aku ikutan heboh, terus aku mikir,emang ada yang berubah? Gak
ada to? Aku bukan nggak peduli bro. Aku juga turut prihatin dan sedih
juga sama kejadian itu. Tapi kan aku udah bukan lagi siapa-siapa disana.
Yang ada cuma kata mantan Presiden BEM dan mahasiswa.”
A
: “Ya tapi kan aku pengen tahu pendapat akang. Dulu aja akang sering
berkoar dan bersuara. Sekarang melempem gini. Kabarnya udah nyebar
kemana2 kang. Di berita juga udah sering keluar.”
B
:”Gini le. Pertama, kita jangan menanggapi sesuatu dengan mentah-mentah
le. Dicerna dengan baik, dengan bijak. Media kan bisa aja
melebih-lebihkan. Atau ada kebenaran yang tidak diungkapkan. Dan juga
belum tentu juga beliau bersalah le. Kan ada asas praduga tidak
bersalah.”
A :”Itu udah pasti kang. Tinggal dibawake meja
hijau aja. Bukan isu-isu lagi. Pokoke benar-benar mencoreng nama baik
kampus kita kang.”
B :”Iya. Kalo emang udah pasti ya kita
doakan prosesnya lancar dan keadilan bisa ditegakkan setegak-tegaknya.
Supaya kalo emang terbukti bersalah ya diproses sesuai prosedur
hukumnya. Kalo emang Nggak terbukti ya Alhamdulillah. Jangan lah kita
terlalu memandang buruk beliau hanya gara-gara kejadian ini. Beliau juga
dekan kita. Banyak kebaikan yang beliau berikan dan lakukan selama ini.
Yang aku rasakan dulu pas kuliah. Kampus kita juga jadi kayak sekarang
sedikit banyak juga ada kontribusi beliau. Tiap orang pernah salah le.
Tapi mungkin kadar kesalahannya tidak sama dan tidak berhubungan dengan
hal sensitif. Kita juga pernah salah kan? Bedanya kita Cuma orang kecil,
jadi salahnya juga kecil. Nggak mungkin diekspos media. Ya kan?”
A :”Tapi kan kang. Itu udah jelas merugikan negara. Harusnya kan kita musuhi, bukan malah akang dukung.”
B
:”Kita kan Nggak tahu kejadian persisnya seperti apa. Apa memang murni
kesalahan beberapa orang, atau ada kepentingan-kepentingan lainnya? Bisa
aja kan ada hal lain yang kita tidak tahu dan ada alasan-alasan
tertentu yang mungkin sangat mendesak.”
A :” Kayak
Pengacara aja kang. Cuma sekarang teman-teman baik mahasiswa dan alumni
itu heboh karena bisa merugikan kami kang.”
B :”Merugikan gimana maksudnya?”
A
:”Ya kan karena kejadian ini bisa-bisa akreditasi kampus kita turun.
Padahal kalo akreditasi menjadi turun, nasib kita ini bakal terombang
ambing kang. Kita Nggak bisa ikut tes CPNS, Nggak bisa daftar
dimana-mana. Belum lagi kalo pas wawancara kerja, terus ditanyain soal
kejadian ini. Dan gara2 ini Nggak jadi diterima kerja. Pekerjaan kita
bisa Nggak jelas kang. Masa depan kita gimana?”
A : “Hahahahahahaha..”
B :”Koq malah ketawa kang? Aku serius malah diketawain.”
A
:”Ya Allah le le..Jadi itu toh yang jadi kekhawatiran kalian. Jauh
sekali. Kayak kita di sini tapi pikiranmu udah di galaksi andromegazord.
Imajinasi kalian itu loh. Luar biasa.”
B :”Ini mah bukan imajinasi kang. Serius kang.”
A
:”Gini ya. Aku jawab satu-satu. Pertama soal akreditasi. Aku emang
bukan anggota BAN-PT atau orang Dikti. Tapi setahuku menurunnya
akreditasi tuh gada ceritanya gara-gara ada kasus yang menimpa kampus
itu. Kalo karena menurunnya pelayanan, prestasi akademiknya, publish
yang dihasilkan, sarana dan prasarana, dan lain-lain yang sebangsa dan
setanah air, itu wajar le. Apalagi kasusnya kan bukan terjadi di dalam
kampus kita. Cuma kebetulan pelakunya adalah beliau dari kampus kita.”
B
:”Tapi kan mungkin aja ada salah satu penilaian yang memasukkan itu
kang. Kan ini kasus gempar kang. Bisa aja kedenger sampai ke atas sana.”
A
:” Oke, oke. Sekarang andai akreditasi benar-benar turun gara-gara
kasus ini. Terus kalian bakal mati gitu? Ayolah. Hidup ini nggak selebar
daun kupingnya bayi bro. Sumber kehidupan bukan cuma dari PNS aja.
Kenapa
sih kiblat kalian masih aja ke sana? Emang sih nggak salah kalo kayak
gitu. Soalnya kan emang PNS menjanjikan. Mapan, pensiunan
terjamin,apalagi pake seragam. Bisa Nggak malu di depan mertua. Gitu
kan? Oh..Kita udah dewasa bro. Berhentilah jadi picik gitu. Kalo masalah
akreditasi benar-benar terjadi, emang itu suatu hal yang kurang
menyenangkan. Tapi kita kan nggak bisa apa-apa buat ngerubah itu. Yang
bisa kita rubah tuh mindset kita. Bukan kita yang menyesuaikan dengan
keadaan, kalo bisa merubah keadaan itu, Why not? Think out of The Box
lah, berhenti jadi mainstream. Aku bukan nglarang kamu dan teman-teman
jadi PNS. Aku juga nggak benci banget sama PNS. Bisa aja suatu saat aku
berubah pikiran dan jadi seorang PNS. Tapi permasalahannya adalah
kehebohan yang kalian timbulkan ini. Sangat absurd. Itu hasil kalo
selalu dan selalu su’udzon sama semua yang kita hadapi. Kalo gini
gimana, kalo gitu gimana. Aku harus gimana. Aku adalah orang paling
sengsara di dunia. Ahhhh..Positive thinking bro. Perlu kamu tahu aja ya.
Jangankan akreditasi, bahkan gelarku, IPKku,ijazahku dan malah asal
kampusku, di tempatku sekarang nggak pernah dilirik bro. Cukup dulu aku
masuk, Ijazah yang penting beneran S1, dan lolos tes. Selesai. Sekarang
yang dipake bener-bener itu otak, kemampuan, softskill dan sejenisnya.
Dan aku bisa hidup dan bertahan sampai sekarang. Itu makanya aku nggak
heboh dan pusing dengan keadaan kampus kita. Aku cuma bisa bantu doa
dari jauh supaya semua diberikan yang terbaik oleh Allah SWT. Cukup itu
dan hanya itu yang bisa aku persembahkan untuk almamaterku bro. Untuk
saat ini”
A :”Iya kang. Maap”
Percakapan
di atas mungkin sedikit memberikan gambaran, bahwa betapa seringnya
kita mengutamakan rasa su’udzon daripada ber-husnudzon dalam kehidupan
sehari-hari. Akhirnya kita terjebak dengan ketakutan-ketakutan kita
sendiri. Kecemasan dan kegelisahan yang berlebihan. Dan waktu kita akan
habis untuk itu. Kita jadi kehilangan kesempatan untuk belajar,
kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan untuk mencari peluang,
dan kesempatan untuk memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungan
sekitar. Semua hanya karena kita kalah oleh pikiran-pikiran kita
sendiri. Dan yang terpenting, jika kita selalu saja ber-su’udzon, kita
tidak akan menikmati tiap-tiap detikkehidupan kita ini.
Sekali
lagi, saya bukan ingin menceramahi. Tapi saya juga mengintrospeksi diri
saya sendiri agar selalu mengikuti salah satu sikap yang Kanjeng Nabi
SAW teladankan. Ber-husnudzon akan membuat kita lebih tenang menjalani
hidup. Lebih dapat menikmati setiap hela nafas yang kita rasakan. Dan
tentunya kita akan semakin sering bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya.
Wallahu ‘alam bisshowab.
NB:
kisah dalam percakapan di atas hanyalah fiktif belaka. Jika adakesamaan
kata, nama, tempat ataupun yang lain, adalah sebuah KESENGAJAAN. Hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar