Senin, 03 Februari 2014

Dosen, Profesi Kelas Dua yang Naik Kasta

Berbicara tentang dunia pendidikan, tidak lepas dengan kata guru. Ya, guru adalah pemegang peran sentral dalam keberlangsungan dunia pendidikan. Bila guru identik dengan sekolah, maka dalam dunia perguruan tinggi kita mengenal istilah DOSEN. Sebenarnya penggunaan kata Dosen sebagai pengganti kata Guru cukup menimbulkan tanda tanya. Diambil dari bahasa manakah kata dosen ini diambil? Kata yang dalam bahasa inggris disebut lecturer dan Belanda dikenal dengan istilah lector ini ternyata diambil dari Bahasa Jerman, yaitu dari kata dozent.

Namun, ada pula plesetan yang menyebutkan bahwa dosen berasal dari bahasa Jawa. Bahasa Jawa dikenal dengan bahasa yang sering menggunakan prinsip gothak gathik mathuk (memaksakan kepanjangan istilah). Dosen diplesetkan sebagai kepanjangan dari bukune sak DOS, duwite sak SEN (bukunya satu dos, uangnya satu sen). Entah istilah ini hanya plesetan ataukah dibuat oleh yang pernah merasakan jadi dosen.

Namun mungkin ada sedikit benarnya juga istilah DOSEN tersebut. Dosen dianggap dengan pekerjaan yang "kurang menguntungkan" dan "tidak bisa kaya". Itu yang membuat profesi ini menjadi profesi yang dipandang sebelah mata. Mengapa saya berani mengatakan hal tersebut? Salah satu yang membuat saya berani mengatakannya adalah dari faktor Sumber daya Manusia.

Jika bisa diibaratkan seperti klub sepakbola, maka SDM bisa dibagi menjadi 3, yaitu klub papan atas, klub papan tengah (medioker) dan klub papan bawah (klub gurem). Klub papan atas disini adalah lulusan-lulusan terbaik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dari berbagai jurusan. Kemampuan dari lulusan ini sangat superior, baik secara hard skill maupun soft skill. Kebanyakan lulusan seperti ini lebih memilih untuk ke luar negeri dan menjadi seorang expert di bidangnya. Alasan memilih ke luar negeri adalah karena di Indonesia "orang pintar" cenderung kurang dihargai. Alasan memilih menjadi ahli tak lain adalah persoalan materi yang lebih menjanjikan. Untuk klub medioker, adalah lulusan yang memiliki kemampuan rata-rata atau sedikit di atas rata-rata. Kelas inilah yang kebanyakan menentukan pilihan untuk menjadi dosen. Selain dosen, pilihan kelas ini adalah Pegawai Negeri Sipil. Alasan pemilihan Dosen dan PNS adalah untuk mencari kemapanan dan kenyamanan dalam bekerja. Untuk klub gurem, yaitu lulusan yang bisa lulus sudah Alhamdulillah, walaupun mungkin sudah hamir DO karena terlalu "sayang dengan kampus" alias terlalu lama. Untuk kelas ini, bidang apa saja bisa dipilih yang penting tidak menjadi pengangguran terdidik.

Selain alasan SDM-nya yang kurang mumpuni, faktor prospek masa depan juga dipertimbangkan. Dalam hal ini lebih mengarah kepada percepatan peningkatan karir. Menjadi dosen tidak mudah untuk dapat meningkatkan karir. Selain butuh waktu lama, syarat-syaratnya juga cukup rumit. Tri Dharma Perguruan tinggi, dijabarkan menjadi banyak poin yang harus dipenuhi. Jika ditilik soal materi, maka percepatan peningkatan gajinya pun sejalan dengan karirnya, cukup lambat. Tidak seperti pegawai swasta, misalnya Bank, yang memiliki percepatan gaji yang sangat ngebut. Sebuah perkecualian bagi dosen yang memiliki jiwa enterpreneur, bisa memiliki pendapatan melebihi gajinya sendiri. Inilah alasan yang membuat lulusan terbaik lebih memilih untuk berkarir dengan percepatan peningkatan yang cepat.

Jika kita mengingat bahwa dosen adalah guru, dan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, maka dosen juga termasuk profesi yang mulia. Mendidik, Meneliti dan Mengabdi kepada masyarakat. Itulah yang dilakukan dosen. Pikiran ini mungkin masih ada di sebagian benak lulusan terbaik, yang lebih mementingkan urusan mengamalkan ilmu daripada mencari materi semata. Namun tentu sangat sedikit.

Keadaan itulah yang mungkin dibaca oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Dikti saat ini sedang gencar mengkampanyekan peningkatan kualitas SDM dosen, agar tidak lagi menjadi profesi kelas dua. Berbagai Beasiswa Unggulan, baik dalam maupun luar negeri diberikan bagi lulusan terbaik dan berprestasi. Program Fast-Track yang mempercepat studi bagi calon dosen juga diberikan. Tentunya program di atas memiliki ikatan dengan Dikti agar kelak lulusan benar-benar menjadi dosen, bukannya setelah disekolahkan malah "kabur" dan menjadi seorang expert. Bukti adanya ikatan ini ditunjukkan dari program Beasiswa Unggulan Dikti yang mewajibkan lulusannya untuk magang selama 3 tahun di sebuah perguruan tinggi. Jika tidak, maka biaya selama studi harus diganti. Program fast track juga begitu. Mahasiswa yang berprestasi ditawarkan beasiswa sebelum lulus. Jadi saat mahasiswa tersebut masih belum diiming-imingi oleh gemerlap materi dari perusahaan swasta, Dikti sudah mengikatnya untuk menjadi dosen yang harus bersedia di tempatkan di seluruh Indonesia.

Dosen, sekali lagi seperti klub papan tengah sebuah liga, berusaha merangsek menjadi profesi kelas satu yang disegani dan dihormati. dengan mumpuninya kemampuan dosen sebagai motor utama pendidikan tinggi, maka selayaknya kualitas SDM mahasiswa yang dihasilkan juga dapat semakin baik.

Dosen, cita-cita saya yang ingin mendapatkan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar