Berbicara tentang dunia pendidikan, tidak lepas dengan kata guru. Ya,
guru adalah pemegang peran sentral dalam keberlangsungan dunia
pendidikan. Bila guru identik dengan sekolah, maka dalam dunia perguruan
tinggi kita mengenal istilah DOSEN. Sebenarnya penggunaan kata Dosen
sebagai pengganti kata Guru cukup menimbulkan tanda tanya. Diambil dari
bahasa manakah kata dosen ini diambil? Kata yang dalam bahasa inggris
disebut lecturer dan Belanda dikenal dengan istilah lector ini ternyata
diambil dari Bahasa Jerman, yaitu dari kata dozent.
Namun, ada
pula plesetan yang menyebutkan bahwa dosen berasal dari bahasa Jawa.
Bahasa Jawa dikenal dengan bahasa yang sering menggunakan prinsip gothak
gathik mathuk (memaksakan kepanjangan istilah). Dosen diplesetkan
sebagai kepanjangan dari bukune sak DOS, duwite sak SEN (bukunya satu
dos, uangnya satu sen). Entah istilah ini hanya plesetan ataukah dibuat
oleh yang pernah merasakan jadi dosen.
Namun mungkin ada sedikit
benarnya juga istilah DOSEN tersebut. Dosen dianggap dengan pekerjaan
yang "kurang menguntungkan" dan "tidak bisa kaya". Itu yang membuat
profesi ini menjadi profesi yang dipandang sebelah mata. Mengapa saya
berani mengatakan hal tersebut? Salah satu yang membuat saya berani
mengatakannya adalah dari faktor Sumber daya Manusia.
Jika bisa
diibaratkan seperti klub sepakbola, maka SDM bisa dibagi menjadi 3,
yaitu klub papan atas, klub papan tengah (medioker) dan klub papan bawah
(klub gurem). Klub papan atas disini adalah lulusan-lulusan terbaik di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia dari berbagai jurusan. Kemampuan
dari lulusan ini sangat superior, baik secara hard skill maupun soft
skill. Kebanyakan lulusan seperti ini lebih memilih untuk ke luar negeri
dan menjadi seorang expert di bidangnya. Alasan memilih ke luar negeri
adalah karena di Indonesia "orang pintar" cenderung kurang dihargai.
Alasan memilih menjadi ahli tak lain adalah persoalan materi yang lebih
menjanjikan. Untuk klub medioker, adalah lulusan yang memiliki kemampuan
rata-rata atau sedikit di atas rata-rata. Kelas inilah yang kebanyakan
menentukan pilihan untuk menjadi dosen. Selain dosen, pilihan kelas ini
adalah Pegawai Negeri Sipil. Alasan pemilihan Dosen dan PNS adalah untuk
mencari kemapanan dan kenyamanan dalam bekerja. Untuk klub gurem, yaitu
lulusan yang bisa lulus sudah Alhamdulillah, walaupun mungkin sudah
hamir DO karena terlalu "sayang dengan kampus" alias terlalu lama. Untuk
kelas ini, bidang apa saja bisa dipilih yang penting tidak menjadi
pengangguran terdidik.
Selain alasan SDM-nya yang kurang mumpuni,
faktor prospek masa depan juga dipertimbangkan. Dalam hal ini lebih
mengarah kepada percepatan peningkatan karir. Menjadi dosen tidak mudah
untuk dapat meningkatkan karir. Selain butuh waktu lama,
syarat-syaratnya juga cukup rumit. Tri Dharma Perguruan tinggi,
dijabarkan menjadi banyak poin yang harus dipenuhi. Jika ditilik soal
materi, maka percepatan peningkatan gajinya pun sejalan dengan karirnya,
cukup lambat. Tidak seperti pegawai swasta, misalnya Bank, yang
memiliki percepatan gaji yang sangat ngebut. Sebuah perkecualian bagi
dosen yang memiliki jiwa enterpreneur, bisa memiliki pendapatan melebihi
gajinya sendiri. Inilah alasan yang membuat lulusan terbaik lebih
memilih untuk berkarir dengan percepatan peningkatan yang cepat.
Jika
kita mengingat bahwa dosen adalah guru, dan guru adalah pahlawan tanpa
tanda jasa, maka dosen juga termasuk profesi yang mulia. Mendidik,
Meneliti dan Mengabdi kepada masyarakat. Itulah yang dilakukan dosen.
Pikiran ini mungkin masih ada di sebagian benak lulusan terbaik, yang
lebih mementingkan urusan mengamalkan ilmu daripada mencari materi
semata. Namun tentu sangat sedikit.
Keadaan itulah yang mungkin
dibaca oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Dikti saat ini sedang gencar mengkampanyekan peningkatan kualitas SDM
dosen, agar tidak lagi menjadi profesi kelas dua. Berbagai Beasiswa
Unggulan, baik dalam maupun luar negeri diberikan bagi lulusan terbaik
dan berprestasi. Program Fast-Track yang mempercepat studi bagi calon
dosen juga diberikan. Tentunya program di atas memiliki ikatan dengan
Dikti agar kelak lulusan benar-benar menjadi dosen, bukannya setelah
disekolahkan malah "kabur" dan menjadi seorang expert. Bukti adanya
ikatan ini ditunjukkan dari program Beasiswa Unggulan Dikti yang
mewajibkan lulusannya untuk magang selama 3 tahun di sebuah perguruan
tinggi. Jika tidak, maka biaya selama studi harus diganti. Program fast
track juga begitu. Mahasiswa yang berprestasi ditawarkan beasiswa
sebelum lulus. Jadi saat mahasiswa tersebut masih belum diiming-imingi
oleh gemerlap materi dari perusahaan swasta, Dikti sudah mengikatnya
untuk menjadi dosen yang harus bersedia di tempatkan di seluruh
Indonesia.
Dosen, sekali lagi seperti klub papan tengah sebuah
liga, berusaha merangsek menjadi profesi kelas satu yang disegani dan
dihormati. dengan mumpuninya kemampuan dosen sebagai motor utama
pendidikan tinggi, maka selayaknya kualitas SDM mahasiswa yang
dihasilkan juga dapat semakin baik.
Dosen, cita-cita saya yang ingin mendapatkan ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar