Senin, 03 Februari 2014

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 7

Uhuk, uhuk, uhuk. Sebelum shubuh, terdengar suara batuk Ibu. Kuhentikan dzikir usai tahajjudku. Segera kuambil segelas air.
“Bu, niki tuyo pethak. Diunjuk Rumiyin.”
Ibuku meminumnya. Kulihat wajah ibu sudah mulai menua, keriput, namun masih terlihat gurat bekas kecantikannya.
“Bu, njenengan gerah? Periksa datheng dokter njih?”
“Ora usah le. Aku sehat. Aku Cuma lagi ora penak awak wae. Ngombe obat sepisan yo mari.” Ujar ibuku
“Injih pun bu menawi ibu sehat. Tapi ibu ampun kesel-kesel njih?”
Akupun masuk ke kamar mandi. Ambil wudhu dan sholat shubuh. Sambil menunggu pagi, aku membaca Al-Qur’an sehabis solat. Ilmu agamaku sangatlah dangkal. Maka untuk setidaknya menambahnya, ibuku menyekolahkanku ke Kiai Shomad, kiai panutan masyarakat di wilayah kami. Bukan untuk mondok, hanya ikut mengaji tiap malam. Tapi lumayan, aku mendapat ilmu yang berharga dari sana. Dan sampai saat ini aku tetap mengaji di Kiai Shomad.
Pagi tiba. Aku telah bersiap untuk berangkat kerja, tinggal sarapan. Ibuku datang.
“Wah, pecek tempe.”
Akupun langsung memakannya seperti macan kelaparan.
“Le, koyoke iki pecek tempe terakhir gawean ibumu iki le.” Ucap ibuku tak terduga.
“uhuk,” aku kaget. “Ibu kok sanjang ngoten. Kan mbenjing saget ndamel malih.”
“Aku wedi ibumu ora iso gawe pecek tempe maneh le. Le, ibu pengen awakmu iso dadi ustadz le. Kowe sinau sing patheng yo?”
“Insya Allah, bu. Sampun ah. Kok malah ngelantor to bu.” Aku memeluk ibuku erat.
Akupun berangkat bekerja.
Di SPBU,
“Li, ono pacarmu.” Bimo memanggil.
Kupelototi Bimo dan dia meringis.
“assalamualaikum Li.”
“Wa alaikum salam. Ada apa na. Koq pagi-pagi begini udah kesini?”
“Aku mau pulang ke Jakarta nanti siang, Li. Jam satu pesawatnya berangkat. Kamu bisa anter?”
“Oooh..Iya Insya Allah, Na.”
“Udah li gitu aja dulu. Kamu lagi kerja, gak enak kalo aku ganggu. Aku tunggu ya? Assalamualaikum.”
“Wa alaikum salam. Ati-ati Na”
Ku terdiam. Kulihat Nana sudah menghilang dari pandanganku. Nana akhirnya akan pergi meninggalkan kota ini. Meninggalkan pula diriku dan segala kebersamaan ini. Ya Allah, jika memang dia bukan jodohku, berikan aku jodoh yang terbaik bagiku.
Ckiiit…
Tiba-tiba ada sebuah motor yang mendadak datang ke arahku. Roni datang dengan tergopoh-gopoh.
“Mas, mas Ali.”
“Ono opo to kesusu-susu le?”
“Anu mas. Anu…”
“Ani, anu. Sing jelas thoh!”
“Ibu sampean mas.”
“Hahh! Ibu! Opo’o ibuku, Ron?” aku mulai cemas.”
“Ibu sampeyan sedha mas.”
“Opp…op..opoooo???” Aku shocked. Ingin rasanya menjerit dan menangis sejadi-jadinya disini. Tapi..
“Sabar mas. Sabar”
“Innalillahi…wa..inna…ilaihi roji’un. Te..russ..sa..i..ii..ki..ya..op..opo..le..?” ucapku dengan air mata meleleh dan suara sesenggukan.
“Tiang-tiang ngrantosi Mas Ali. Sampun mas. Assalamualaikum.”
“Wa..a..laikum..salam,” ucapku masih dalam tangis.
Aku minta ijin pulang kepada atasanku. Teman-teman semua menyalamiku.
“sabar yo, Li. Iki Ujianmu.” Kata Aan
“Allah cinta sama orang yang sabar, Li.” Riska menambahi.
Aku hanya mengangguk pasrah.
Kubawa motorku, ngebut, agar cepat sampai ke rumah. Tak peduli jalanan ramai. Dalam perjalanan aku teringat semua kenangan dengan ibuku. Ibuku yang mendidikku, mengajariku, menyayangiku, berjuang untuk hidup dan sekolahku, ibuku yang…..
Ckiiiiittttttt….Braaaakkkk…..Duaaaaassshhhh….
Pusing, bumi berputar, perih, sakit, mataku berkunang-kunang dan akhirnya gelap, gelap dan gelap.
Sementara itu di bandara Adi Sumarmo.
“Ayo, Na. Berangkat..” kata Pak Hartono
“”Tunggu pa. Katanya Ali mau kesini”
“Oh, ya udah. Kita tunggu sampai jam satu ya? Pesawatmu udah mau berangkat.”
Beberapa saat kemudian,
“Panggilan terakhir bagi penumpang pesawat garuda Indonesia tujuan Jakarta….” Terdengar suara dari pengeras suara informasi bandara.
“Pa, aku nggak pulang sekarang ya? Perasaanku nggak enak nih, Pa.”
“Lho, gimana toh?”
“Kumohon pa. Aku ngerasa ada apa-apa sama Ali.”
“Ya wis. Buat anak papa yang cantik, apa sih yang enggak. Ayo kita ke rumah Ali biar tahu ada apa, Na.”
“Makasih pa.”
Mobil mercy melaju ke luar bandara dan beberapa lama kemudian sampai di SPBU tempat Ali bekerja.
“Permisi mas. Ali kemana ya?” Tanya Pak Tono.
“Oh, tadi pulang pak. Ibunya meninggal dunia.” Jawab Bimo.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Ucap Pak Tono dan Nana bersamaan.
“Mas, boleh tahu rumah Ali dimana ya?” Tanya Nana cemas.
Bimo menerangkan dengan sabar.
“Kalo gitu kami kesana dulu mas. Terima kasih banyak mas. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam”
Mobil mewah buatan Jerman itu melesat cepat melintasi jalan. Menuju sebuah rumah kecil dan sederhana di tengah kampung kota Solo. Rumah yang ramai dan sesak oleh warga yang ingin melayat itu memang rumah yang dicari. Pak Tono dan Nanapun tiba di sana.
“Pak, betul ini rumah Ali?” Pak Tono bertanya pada bapak yang kelihatan sibuk.
“Oh, iya. BEtul. Bapak siapa ya?”
“Saya kenalan Ali, nama saya Hartono dan ini putri saya, teman Ali.”
“Oh, iya pak. Saya Ketua RT disini. Nama saya Kurniawan pak.”
“saya turut berduka cita pak, atas meninggalnya ibunya Ali, Pak.” Kata Pak Tono kemudian.
“Terima kasih, Pak.”
“Pak, Ali dimana ya?” sahut Nana.
“Lha ya itu. Ali belum datang. Kami menunggu Ali daritadi pak. Dia kan anak satu-satunya. Kami belum bisa mengurus jenazah ibunya sebelum dia datang. Mungkin Ali ingin bertemu ibunya untuk yang terakhir kalinya, Pak.” Terang Pak RT.
“Ron, Ali endi?” Tanya Pak RT saat melihat Roni karena dialah yang menjemput Ali.
“Kirangan Pak. Kala wau sampun kula susul.” Jawab Roni.
“Kemana ya, Pa?” Nana semakin cemas.
“Mungkin masih di perjalanan, sayang.” Papanya menenangkan.
“Kita tunggu saja, sebentar lagi juga datang. Ya kan, Pak?” Pak tono meyakinkan kepada Pak RT.
“Insya Allah. Kita tunggu saja.” Ucap Pak RT bijak.
Semua menunggu. Tapi tetap tak kunjung datang. Di tengah penantian semua orang, datanglah  dua orang polisi.
“Selamat siang. Benar ini rumah saudara Muhammad Ali Firdausy?” Tanya seorang polisi.
“Iya, benar. Ada apa pak?” jawab Pak RT.
“saudara Ali mengalami kecelakaan yang cukup parah pak. Kepalanya mengalami pendarahan hebat dan tidak sadarkan diri. Sekarang dia sudah dirawat di ICU RSUD Dr. Moewardi pak.” Jelas polisi yang lain.
“Demikian informasi dari kami pak. Selamat siang.”
“Terima kasih pak,” jawab Pak RT.
“Ya Allah. Betapa banyak ujian yang kau berikan pada Ali. Tabahkanlah Ali Ya Allah.” Nana shocked dan hampir pingsan setelah mengucapkan itu.”
“Na, sadar. Jangan menambah masalah lagi. Kita harus segera kesana.”
“Pak, biar saya dan anak saya yang ke rumah sakit. Jenazah ibunya Ali supaya segera diurus, pak. Kan sudah perintah Nabi menyegerakan mengurus jenazah.” Lanjut Pak Tono kepada Pak RT.
“Baik pak. Terima kasih. Akan kami urus jenazah ibunya Ali.”
“Kalau begitu kami permisi, Pak. Assalamualaikum.”
“Wa alaikum salam.”
Pak Tono dan Nana segera menuju ke rumah sakit. Sementara Pak RT mengintruksikan warga untuk memandikan, mengafani serta menyolati jenazah dan kemudian dikebumikan.
~Bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar