Senin, 03 Februari 2014

Fenomena Tawuran, Dampak Ketimpangan IQ dengan EQ dan SQ

Tawuran antar sekolah di ibukota semakin menjadi. Setelah kita dibuat miris dengan kematian seorang siswa SMAN 6 Jakarta kelas 10 yang bernama Alawy Yusianto Putra pada hari senin kemarin, hari ini korban jiwa kembali jatuh. Kali ini siswa SMK Yake bernama Deni Januar (17) yang menjadi korban tawuran di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. kali ini pelakunya adalah siswa SMK Karya Zeni. Jadilah dalam waktu tiga hari saja, sudah dua nyawa terenggut akibat sesuatu yang sangat tidak beradab.
 Tawuran, atau bentrok antar sekolah sudah dianggap sesuatu yang wajar. Bukan hanya di ibukota, di kota kecil seperti Jember juga ada hal seperti ini walaupun tidak sering terekspos media. Padahal tidak jarang pemicunya adalah hal sepele, misalnya saling ejek, pertengkaran dua siswa dari beda sekolah dan bisa juga karena sudah tradisi. Aneh memang. Pelajar yang dalam hal ini tugas utamanya adalah belajar malah punya profesi baru, yaitu sebagai fighter.
Hal lain yang membuat saya miris adalah saat diwawancarai oleh beberapa media tentang tawuran, beberapa siswa mengatakan dengan bangganya bahwa tawuran itu menunjukkan solidaritas, kejantanan dan darah muda. Semakin sering tawuran semakin tinggi harga diri mereka. Sebenarnya apa penyebab utama permasalahan pada generasi masa depan bangsa ini?

Menurut seorang pakar, seperti yang saya lihat di televisi, faktor penyebab tawuran adalah lokasi sekolah yang sangat berdekatan. Pakar lain menyatakan penyebabnya adalah kebiasaan untuk berkumpul di pinggir jalan sepulang sekolah yang dilakukan para siswa sehingga menyebabkan sering terjadi gesekan antar siswa yang berpapasan di jalan. Mungkin pernyataan pakar di atas ada benarnya, karena memang fakta itulah yang ditemui. Namun bisa jadi itu hanyalah penyebab eksplisit dari tawuran antar siswa. Faktor implisit yang jauh lebih besar dan memiliki tingkat bahaya laten sebenarnya adalah kurangnya pendidikan moral siswa.
Sudah menjadi hal umum jika sekolah merupakan ajang untuk menuntut ilmu dan meningkatkan kemampuan intelektual. Namun perlu digarisbawahi bahwa sekarang IQ (Intelligence Quotient) saja tidak cukup. Kemampuan akademis yang tinggi tidak menjamin seseorang akan menjadi pribadi yang baik. Dibutuhkan kecerdasan moral atau Emotional Quotient dan spiritual atau Spiritual Quotient untuk menjadi pribadi yang baik.
Saat ini sekolah-sekolah umum sangat menjunjung tinggi kecerdasan intelektual semata, dengan indikator tingkat kelulusan tinggi, nilai UN tinggi atau bahkan akreditasi sekolah dan status sekolah yang bertaraf internasional. Namun alangkah mirisnya jika melihat hal itu tidak diimbangi dengan pengembangan dan penempaan EQ dan SQ dari siswa. Pelajaran moral kurang diprioritaskan di sekolah, terbukti dengan beberapa kali digantinya mata pelajaran yang berhubungan dengan moral. Dari Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, hingga sekarang menjadi Pendidikan Kewarganegaraan saja. Tanpa ada pendidikan Pancasila.
Itu hanya salah satu contoh. Belum lagi pendidikan agama bagi siswa yang sudah dinomorsekiankan. Sudah umum di sekolah-sekolah bahwa pendidikan agama hanya diberikan maksimal dua jam pelajaran dalam seminggu. Sangat tidak berimbang dengan materi umum yang diberikan. Itulah yang menurut saya membuat siswa merasa begitu tertekan dengan materi tersebut, tanpa ada pencerahan dan penguatan moral sehingga saat keluar dari sekolah mereka lebih memilih untuk berkumpul dengan teman tanpa ada hal penting yang dilakukan.
Bila kita tengok lebih dalam lagi, mungkin tindakan siswa tersebut tak luput dari peran serta para penguasa yang memberikan contoh kepada mereka. Penguasa yang cenderung hanya mengandalkan IQ, tanpa diiringi EQ dan SQ yang baik memunculkan para penguasa yang korup dan hanya bisa mementingkan kepentingan pribadinya sendiri. Mungkin keadaannya sedikit berbeda karena jika siswa bentuknya adalah lebih ekstrim, lebih keras, terlihat nyata dan korban yang ditimbulkan langsung. Oknum korup lebih berkelas, karena tidak memakai seragam sekolah, tapi menggunakan jas dan baju necis. Korbannya pun tidak terlihat jelas dan nyata sekarang. Tapi lebih memiliki dampak yang lebih besar. Menyengsarakan rakyat banyak.
Sekali lagi bangsa kita dihadapkan permasalahan yang belum dapat diselesaikan. Mungkin untuk menanggulanginya memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi jika kita punya niat dan mau berusaha, kita akan mampu menyelamatkan generasi muda kita yang akan menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar