Senin, 03 Februari 2014

SPBU (Seberkas Pijar Berkilau Untukku) : Chapter 6

Di depan kami terpampang tulisan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Aku segera masuk membopong nenek itu untuk mendapatkan perawatan.

“Na, tunggu sebentar. Aku mau mengantar nenek itu.”
Nana tersenyum. Aku pergi. Dia menungguku.
“Maaf, Na. Lama.”

Aku datang bersama ibu dan nenek yang telah berbalut dengan perban di kepalanya. Kami mengantar nenek itu ke rumahnya. Setelah melalui jalan yang sempit dan berkelok-kelok, kami sampai di sebuah gubuk tua yang kecil. Ternyata itu adalah rumah nenek itu. Melihatnya aku tersadar, masih banyak orang yang lebih kurang beruntung dariku. Kuantar nenek itu sampai pintu rumahnya dan kemudian langsung pamit untuk pulang. Aku mendapat pelajaran berharga hari ini. Betapa kita harus mensyukuri apapun keadaan yang kita miliki.

Kupacu lagi mobil mewah ini dengan diiringi awan lembut, selembut hati wanita di sebelahku. Kupandang dia tanpa sepengetahuannya. Seandainya namaku, Muhammad Ali Firdausy, bersanding dengan namanya, Aisyah Sabrina Putri, dalam satu ikatan suci. Ahh, begitu indahnya.

“Li, Ali.” Ucap Nana sambil melambaikan tangannya di depan mataku yang membuyarkan lamunanku.
“eh, eh. Iya ada apa Na.”
“Laper li.”
“Astaghfirullah. Iya Na. aku juga laper. Kita lupa dari siang tadi belum makan.”
“Ya udah mampir di warung langganan kamu li. Aku manut aja.”
“Oke.”

Mampirlah kami di warung penyetan langgananku.

“Pesen apa mas?” ujar mbak pelayannya ramah.
“Pecek terong dan tempe goreng satu. Kamu, Na?”
“Sama deh.”
“Oh, dua mbak.” Kuralat pesananku tadi
“Minumnya mas?” Tanya pelayan itu yang kira-kira masih usia SMP.
“Es teh dua. Ya kan, Na?”
Jawabannya Cuma satu. Senyum. Senyuman yang manisnya pasti lebih manis daripada es teh disini.

Kubuka pembicaraan, “Na, kamu sampai kapan di Solo?”
“Insya Allah minggu depan aku udah pulang.”
“Lho, koq cepet, Na?”
“Iya, aku kan di Solo udah sebulan. Dan aku udah mulai masuk kuliah lagi. Jadi emang bener-bener pulang Li. Sebenernya aku juga nggak pengen pulang. Aku udah betah banget disini. Apalagi ada kamu, Li. Aku jadi ada temen. Tapi sayang, aku emang gak bisa lama disini, Li.”
“Oh, gitu.”
Minggu depan?? Rasanya cepet banget. Padahal aku masih pengen kenal lebih jauh sama Nana. Tapi, memang kayaknya aku sama dia tidak bisa menjalani kebersamaan yang lebih lama. Aku dan dia ada di dunia berbeda. Aku sadar. Sudahlah.

“Silahkan mas.” Pelayan datang membawa pesanan kami.
Aku membaca doa dan diikuti Nana. Lalu langsung saja kucomot terong dan sambelnya. Nyam nyam..

“Li, sebenernya aku cinta sama kamu. Tapi aku nggak tahu ini Cuma suka atau cinta atau apa aja deh namanya. Rasa ini tumbuh seiring dengan kekagumanku kepada kamu, Li. Selama aku dekat sama kamu, aku ngerasa kamu begitu sempurna buat aku. Kamu udah ajari aku banyak hal. Kamu adalah malaikat di mataku, Li.”
Glekkk..sambel pedas jadi tertelan bulat-bulat di kerongkongan mendengar ucapan Nana.

“Uhuk, uhuk.”
“Li, kamu nggak apa-apa?”
Langsung kuseruput es teh hingga tinggal seperempat gelas. Aku nangis kepedesan.
“Pelan-pelan dong kalo makan, Li. Kamu denger omonganku kan?” ucap Nana sambil memberikan tissue kepadaku.

Aku tersenyum malu dan mengangguk. Lama kami saling diam. Hening. Setelah pedasku hilang dan sudah bisa berpikir tenang, aku angkat bicara.

“Na, jujur. Aku nggak nyangka kamu bilang masalah cinta sama aku. Kamu anak orang kaya, cantik, cerdas. Tapi aku….”
“Li, udahlah.” Potong Nana
“Jangan ungkit masalah itu. Kamu mau bilang kamu anak miskin, rendah dan apa aja yang jelek-jelek kan? Aku nggak liat fisik dan materi, Li. Enggak, Li. Enggak! Tapi aku liat hati. Hati kamu begitu bercahaya, Li, nggak seperti cowok-cowok yang pernah aku kenal. Sekarang sudah jarang ada orang yang berhati mulia kayak kamu, Li.”
“Aku terharu Na. Kamu liat aku apa adanya. Jujur, aku juga cinta sama kamu, Na. Kamu selalu aku impikan dalam tidurku, dalam anganku dan dalam perjalanan hariku. Aku ingin kamu jadi milikku. Cinta sejati yang suci, hanya akan membawa kepada kebahagiaan sejati bila melalui mahligai pernikahan. Aku rasa kamu juga paham yang aku omongin, Na.”

Nana mengangguk dan tersenyum. Aku udah nggak ingat apa-apa sewaktu ngomong kayak gini. Yang terasa Cuma hati ini menggerakkan lidah dan bibir aku buat ngerangkai apa yang ingin hatiku sampaikan. Jadi otakku nggak ikut campur. Dan nggak terasa mataku jadi terasa agak kabur karena air mata. Kulihat mata Nana juga berkaca-kaca.
Kuambil kertas dan bolpoin dari sakuku. Kutuliskan sebuah puisi. Aku memang dikenal jago bikin puisi. Aku sering menuliskan perasaan dan pikiranku di sehelai kertas. Makanya aku dulu disebut Pujangga Gadungan oleh teman-teman SMA.

Dewi
Kau adalah dewi
Dewi penyelamatku
Yang senantiasa membuatku
Memiliki secercah asa
Mempunyai segenggam angan
Memunculkan setitik harapan

Dewi
Karenamu aku hidup kembali
Lahir ke dunia cintamu
Yang indah nan mempesona
Tuk merangkai hidup penuh makna
Menguntai kasih dan cinta
Bersamamu dewiku

Dewi
Terima kasih
Karena engkau Aku tak sendiri lagi
Karena dirimu sunyi dan sepi tak datang lagi
Karena belaianmu aku merasa sangat berarti
Karena kasihmu ku mendapat kebahagiaan sejati
Karena cintamu aku merasakan keindahan
Dan keajaiban cinta yang engkau berikan
Hanya padaku seorang

Dewi
Tak mampu aku membalasmu
Yang dapat kuberikan hanyalah
Rasa cinta dan kasih yang tulus dan suci
Untukmu dewiku

Nana mengusap air matanya dan memandangku. Aku membalas senyumannya. Tapi aku dan Nana sama sekali nggak berkata-kata. Kami menyadari bahwa kata-kata akan jadi tak berarti bila bertemu dengan cinta yang suci. Dan kami yakin bahwa cinta kami adalah cinta yang suci, tulus dari dasar hati, dan Insya Allah mendapatkan ridlo Illahi. Amin.
Lalu adzan berkumandang.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..”
“Na, ayo kita cari masjid. Sholat dulu. Bawa mukena kan?”
Nana diam, lalu mengangguk. Ya Allah. Begitu indahnya makhluk ciptaan-Mu yang ada di hadapanku ini.
~Bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar