Inklusif. Sebuah kata yang mungkin agak asing di telinga
sebagian kita. Kita lebih familiar dengan kata eksklusif. Kedua kata ini
adalah antonim. Eksklusif memiliki arti hal yang sangat diistimewakan,
berbeda dengan yang lain. Bisa juga berarti terbatas dan tertutup.
Contohnya dalam istilah ASI Eksklusif. Disini berarti bayi terbatas
hanya boleh diberikan ASI saja, makanan lain tidak boleh diberikan. Lalu
apakah arti kata Inklusif? Berdasarkan antonimnya, jika eksklusif
berarti terbatas dan tertutup, berarti inklusif terbuka untuk semua.
Istilah
inklusif ini sebenarnya sudah lama saya dengar. Namun saya baru
benar-benar memahaminya setelah berada di Rembang. Khususnya Pendidikan
Inklusif. Sebuah program yang ada di Plan Indonesia PU Rembang. Awalnya
saya kurang begitu antusias untuk bisa mendalaminya, karena saya pikir
program itu bukanlah urusan saya. Sudah ada yang menghandle dan
menjadi penanggung jawabnya. Namun suatu saat program ini bersinggungan
dengan desa yang saya dampingi. Karena dua dari tiga desa yang saya
dampingi mendapatkan amanah menjadi SD Inklusif. Walhasil saya sering
turun dan mau tidak mau harus mendalaminya.
Dari
situ pula keingintahuan sebagai mantan mahasiswa yang idealis muncul.
Semakin saya ikuti dan saya ikut turun di dalamnya, semakin kuat rasa
penasaran saya. Dan sebuah kesimpulan yang saya tarik sendiri dari
Pendidikan Inklusif adalah sebuah hal yang sangat mulia. Tidaklah
berlebihan saya mengatakan seperti ini. Saya teringat pada seseorang
yang ada di Jember sana. Seorang anak perempuan kecil yang cantik dan
manis bernama Lailatul Hasanah, atau biasa saya panggil Ela. Seorang
Anak Berkebutuhan Khusus dengan kekhususan Tuna Daksa (Fisik).
Ela,
sebenarnya bukan saudara saya. Namun pada suatu hari, orang tuanya
datang ke rumah saya untuk meminta bantuan tempat tinggal. Dan orang tua
saya mengijinkan untuk tinggal di rumah saya. Sejak saat itu, ikatan
persaudaraan pun lahir. Saat itu, rasa penasaran saya terkuak saat sang
bapak menggendong bayi perempuan mungil. Ada yang aneh rasanya.
Ternyata, Ela adalah bayi yang lahir tanpa memiliki tungkai kaki.
Badannya hanya terbatas sampai pangkal paha. Betapa menangis hati saya
melihatnya. Beberapa tahun Ela dan keluarganya tinggal bersama di rumah
saya. Dan suatu hari saya melihat Ela berjuang untuk berjalan
menggunakan tumpuan tangannya. Namun karena tangannya masih lemah, dia
terjatuh dan menangis. Hal itu terjadi berulang-ulang.
Namun
dibalik kekurangannya, Ela adalah anak yang sangat cerdas. Saat melihat
teman seusianya, dia bertanya, “Ma, besok Ela punya kaki kan ya? Besok
Ela bisa jalan kan, Ma?” Pertanyaan lugu yang tak bisa dijawab. Dan saat
sudah beranjak besar dan Ela akan masuk Sekolah Dasar, ada sebuah
kebimbangan dari orang tuanya. Termasuk diri saya. Jika dilihat dari
kecerdasan, Ela sangat pantas masuk ke sekolah umum. Namun di sisi lain,
orang tuanya takut jika di kelas Ela menjadi minder dan menjadi bahan
ejekan teman-temannya. Saat itu saya juga berpikir hal yang sama karena
saya belum mengenal istilah Inklusif dan memang di Jember saat itu belum
ada SD yang Inklusif. Akhirnya dia bersekolah di SLB YPAC (Yayasan
Penyandang Anak Cacat). Sekarang sudah duduk di bangku kelas 3 dan
prestasinya sangat membanggakan. Bahkan dia pernah masuk di acara
televisi lokal Jember untuk tampil bercerita dan menyanyi.
Ela,
anak cerdas yang memiliki kebutuhan khusus, hanya salah satu contoh
dari banyak anak istimewa yang terpinggirkan. Mereka harus bersekolah di
sekolah berbeda, bermain dengan teman-teman yang memiliki kondisi sama
dan tidak mendapatkan hak yang sama dengan anak lainnya. Namun karena
Pendidikan Inklusif yang belum benar-benar digaungkan, pengkotak-kotakan
itu akan selalu muncul. Maka sangat beruntungnya lah saya bisa menjadi bagian di Pendidikan Inklusif di Kabupaten Rembang.
Dua
belas SD di Rembang didapuk menjadi SD Inklusif dengan bimbingan dan
pendampingan dari Plan Indonesia. Dan direplikasi di beberapa SD lainnya
oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang. Guru Pendamping Khusus (GPK)
pun telah selesai dilatih selama setahun penuh dengan 12 tahap
pelatihan. Itu artinya akses bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan
khusus semakin meluas. Tidak hanya harus mencapai SDLB (Sekolah Dasar
Luar Biasa) yang hanya ada di Kecamatan Rembang dan Lasem saja. Namun di
seluruh kecamatan sudah ada SD Inklusif. Dan harapannya ke depan, semua
SD di Kabupaten Rembang merupakan SD Inklusif, bahkan kelak
mampu menggalakkan SMP maupun SMA inklusif.
Sebenarnya,
istilah inklusif tidak hanya berpasangan dengan kata pendidikan. Semua
hal di dunia ini seharusnya juga inklusif. Misalnya perekooimian
inklusif, pemerintahan inklusif, pekerjaan inklusif dan lain-lain.
Mengapa? Karena mereka juga punya hak untuk bisa berkecimpung di banyak
bidang. Sama seperti orang lain. Namun mimpi untuk mencapai itu semua
hanya bisa tercapai jika Pendidikan Inklusif telah paripurna
dilaksanakan. Dengan pendidikan inklusif, maka mereka yang selama ini
hanya punya masa depan yang sempit, dengan disiapkan secara matang
melalui pendidikan inklusif, maka masa depan mereka akan semakin terbuka
luas.
Pendidikan Inklusif, adalah
pendidikan untuk semua. Semua anak sama. Semua anak punya hak sama.
Mereka tidak berbeda, namun istimewa. Bukan kita pinggirkan, bukan kita
lupakan, tapi kita berikan perlakuan yang istimewa lebih dari yang lain.
Dengan berhasilnya pendidikan inklusif, maka akan menjadi tonggak
kebangkitan mereka untuk dapat meraih kesempatan yang sama dengan semua
orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar