Senin, 03 Februari 2014

Pendidikan Inklusif, Tonggak Awal Kebangkitan Mereka

Inklusif. Sebuah kata yang mungkin agak asing di telinga sebagian kita. Kita lebih familiar dengan kata eksklusif. Kedua kata ini adalah antonim. Eksklusif memiliki arti hal yang sangat diistimewakan, berbeda dengan yang lain. Bisa juga berarti terbatas dan tertutup. Contohnya dalam istilah ASI Eksklusif. Disini berarti bayi terbatas hanya boleh diberikan ASI saja, makanan lain tidak boleh diberikan. Lalu apakah arti kata Inklusif? Berdasarkan antonimnya, jika eksklusif berarti terbatas dan tertutup, berarti inklusif terbuka untuk semua.

Istilah inklusif ini sebenarnya sudah lama saya dengar. Namun saya baru benar-benar memahaminya setelah berada di Rembang. Khususnya Pendidikan Inklusif. Sebuah program yang ada di Plan Indonesia PU Rembang. Awalnya saya kurang begitu antusias untuk bisa mendalaminya, karena saya pikir program itu bukanlah urusan saya. Sudah ada yang menghandle dan menjadi penanggung jawabnya. Namun suatu saat program ini bersinggungan dengan desa yang saya dampingi. Karena dua dari tiga desa yang saya dampingi mendapatkan amanah menjadi SD Inklusif. Walhasil saya sering turun dan mau tidak mau harus mendalaminya.
Dari situ pula keingintahuan sebagai mantan mahasiswa yang idealis muncul. Semakin saya ikuti dan saya ikut turun di dalamnya, semakin kuat rasa penasaran saya. Dan sebuah kesimpulan yang saya tarik sendiri dari Pendidikan Inklusif adalah sebuah hal yang sangat mulia. Tidaklah berlebihan saya mengatakan seperti ini. Saya teringat pada seseorang yang ada di Jember sana. Seorang anak perempuan kecil yang cantik dan manis bernama Lailatul Hasanah, atau biasa saya panggil Ela. Seorang Anak Berkebutuhan Khusus dengan kekhususan Tuna Daksa (Fisik).

Ela, sebenarnya bukan saudara saya. Namun pada suatu hari, orang tuanya datang ke rumah saya untuk meminta bantuan tempat tinggal. Dan orang tua saya mengijinkan untuk tinggal di rumah saya. Sejak saat itu, ikatan persaudaraan pun lahir. Saat itu, rasa penasaran saya terkuak saat sang bapak menggendong bayi perempuan mungil. Ada yang aneh rasanya. Ternyata, Ela adalah bayi yang lahir tanpa memiliki tungkai kaki. Badannya hanya terbatas sampai pangkal paha. Betapa menangis hati saya melihatnya. Beberapa tahun Ela dan keluarganya tinggal bersama di rumah saya. Dan suatu hari saya melihat Ela berjuang untuk berjalan menggunakan tumpuan tangannya. Namun karena tangannya masih lemah, dia terjatuh dan menangis. Hal itu terjadi berulang-ulang.

Namun dibalik kekurangannya, Ela adalah anak yang sangat cerdas. Saat melihat teman seusianya, dia bertanya, “Ma, besok Ela punya kaki kan ya? Besok Ela bisa jalan kan, Ma?” Pertanyaan lugu yang tak bisa dijawab. Dan saat sudah beranjak besar dan Ela akan masuk Sekolah Dasar, ada sebuah kebimbangan dari orang tuanya. Termasuk diri saya. Jika dilihat dari kecerdasan, Ela sangat pantas masuk ke sekolah umum. Namun di sisi lain, orang tuanya takut jika di kelas Ela menjadi minder dan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Saat itu saya juga berpikir hal yang sama karena saya belum mengenal istilah Inklusif dan memang di Jember saat itu belum ada SD yang Inklusif. Akhirnya dia bersekolah di SLB YPAC (Yayasan Penyandang Anak Cacat). Sekarang sudah duduk di bangku kelas 3 dan prestasinya sangat membanggakan. Bahkan dia pernah masuk di acara televisi lokal Jember untuk tampil bercerita dan menyanyi.

Ela, anak cerdas yang memiliki kebutuhan khusus, hanya salah satu contoh dari banyak anak istimewa yang terpinggirkan. Mereka harus bersekolah di sekolah berbeda, bermain dengan teman-teman yang memiliki kondisi sama dan tidak mendapatkan hak yang sama dengan anak lainnya. Namun karena Pendidikan Inklusif yang belum benar-benar digaungkan, pengkotak-kotakan itu akan selalu muncul. Maka sangat beruntungnya lah saya bisa menjadi bagian di Pendidikan Inklusif di Kabupaten Rembang.

Dua belas SD di Rembang didapuk menjadi SD Inklusif dengan bimbingan dan pendampingan dari Plan Indonesia. Dan direplikasi di beberapa SD lainnya oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang. Guru Pendamping Khusus (GPK) pun telah selesai dilatih selama setahun penuh dengan 12 tahap pelatihan. Itu artinya akses bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus semakin meluas. Tidak hanya harus mencapai SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) yang hanya ada di Kecamatan Rembang dan Lasem saja. Namun di seluruh kecamatan sudah ada SD Inklusif. Dan harapannya ke depan, semua SD di Kabupaten Rembang merupakan SD Inklusif, bahkan kelak mampu menggalakkan SMP maupun SMA inklusif.  

Sebenarnya, istilah inklusif tidak hanya berpasangan dengan kata pendidikan. Semua hal di dunia ini seharusnya juga inklusif. Misalnya perekooimian inklusif, pemerintahan inklusif, pekerjaan inklusif dan lain-lain. Mengapa? Karena mereka juga punya hak untuk bisa berkecimpung di banyak bidang. Sama seperti orang lain. Namun mimpi untuk mencapai itu semua hanya bisa tercapai jika Pendidikan Inklusif telah paripurna dilaksanakan. Dengan pendidikan inklusif, maka mereka yang selama ini hanya punya masa depan yang sempit, dengan disiapkan secara matang melalui pendidikan inklusif, maka masa depan mereka akan semakin terbuka luas.  

Pendidikan Inklusif,  adalah pendidikan untuk semua. Semua anak sama. Semua anak punya hak sama. Mereka tidak berbeda, namun istimewa. Bukan kita pinggirkan, bukan kita lupakan, tapi kita berikan perlakuan yang istimewa lebih dari yang lain. Dengan berhasilnya pendidikan inklusif, maka akan menjadi tonggak kebangkitan mereka untuk dapat meraih kesempatan yang sama dengan semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar